Aku terbangun di kamarku, rasanya mimpi tadi benar-benar menyesakkan dadaku. Aku bermimpi Mas Kafa kecelakaan, saat terbangun rasanya hatiku masih terasa sesak.
"Mas Kafa sudah pulang?"
Dia hanya tersenyum lalu duduk di sampingku.
"Mas Kafa mau makan? Biar aku siapin."
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, tapi kali ini matanya berkaca-kaca.
"Mas Kafa kenapa?"
Belum ada jawaban darinya, dia masih terus menatapku, dia memegang tanganku lalu menciumnya. Dia menangis, air matanya membasahi tanganku. Setelahnya dia berganti mengusap perutku dan menciumnya.
"Mas! Ada apa??" Tanyaku khawatir. Namun tidak ada jawaban darinya, dia berdiri dan beranjak keluar kamar.
"Mas Kafa mau kemana?" Seperti tidak peduli dengan panggilanku, dia terus berjalan menuruni tangga.
"Mas Kafa!" Panggilku lebih keras, dia menoleh sebentar, tersenyum lalu kembali melangkah keluar.
"MAS KAFAAAA!!"
Aku tersentak kaget, aku mengerjapkan mataku berkali-kali mencoba mengenali sekitarku saat ini. Ah tempat ini, kenapa aku bisa di rumah sakit lagi.
"Biya! Minum dulu dek! "
"Mbak Zara! " Aku menerima minum darinya.
"Aku kenapa lagi Mbak? Mas Kafa mana?"
"Kamu tadi menurun kondisinya jadi harus istirahat dulu di sini."
"Mas Kafa mana Mbak?"
"Istirahat dulu ya, kasihan bayi kamu kalau kurang istirahat."
Tiba-tiba hatiku kembali menciut. Mana yang sebenarnya mimpi dan kenyataan. Kenapa Mbak Zara tampak sedih?
"Mbak, di mana Mas Kafa? Apa dia tahu aku masuk rumah sakit?" Sebenarnya aku takut bertanya ini pada Mbak Zara, aku takut mimpiku itu nyata.
"Yang sabar ya, Kafa-"
" Mas Kafa kenapa Mbak? Ibu di mana? Tadi aku sama ibu kan di rumah?" Tanyaku tak sabar.
"Bu Hanifah lagi nungguin Kafa di ICU Bi, Kafa kecelakaan dan dia kritis."
Aku langsung menangis sejadinya Mbak Zara memelukku sambil menangis juga. Ya Allah, Mas Kafa!
"Dengerin, Mbak tahu pasti kamu sedih banget, tapi kamu harus sabar, inget juga kamu lagi hamil, Kafa pasti juga marah kalau kamu enggak jagain anak kamu."
"Aku mau lihat Mas Kafa, Mbak."
"Mbak antar, tapi kamu janji harus tetap jaga kondisi."
Aku terus melafalkan semua doa yang aku bisa, Mbak Zara membawaku ke Mas Kafa dengan kursi roda. Rasanya terlalu berat aku harus menemui Mas Kafa dalam kondisi seperti ini.
Saat sampai di depan ruangannya aku lihat ibu sudah menangis dipeluk ayah, Azka juga ada di sana bersama suaminya dan juga ada Mas Anas yang menggendong Syauqi.
"Ibu aku mau lihat Mas Kafa."
Ibu menangis sambil memelukku yang masih duduk di kursi roda.
"Biya kuat kok Bu!" Aku berusaha kuat walaupun air mataku tidak bisa berhenti.
"Ayah temani ya Nak!"
Ayah mengambil alih kursi rodaku lalu membawaku masuk ke ruangan Mas Kafa. Sebelum mendekat aku di bantu ayah memakai pakaian steril sesuai aturan.
Aku mendekat ke Mas Kafa, rasanya dadaku berdebar lebih keras, tulang-tulang serasa melunak tidak kuat menopang tubuhku walaupun aku duduk. Mas Kafa tertidur dengan banyak alat di tubuhnya, wajahnya bahkan lebih pucat. Semua ini nyata, bukan mimpi.
Aku pegang tangan dinginya, menciumnya lalu menempelkannya di pipiku mencoba menyalurkan kekuatan dan dukungan serta cinta padanya berharap hal ini berefek walaupun sedikit.
"Kafa terlibat kecelakaan beruntun Nak sewaktu mau pulang." Ujar Ayah dengan nada seraknya.
"Keadaannya cukup parah karena posisi mobilnya di tengah." Tambahnya.
Innalillahi Mas Kafa. Ya Allah selamatkan Mas Kafa, hamba masih sangat membutuhkannya, baru sebentar hamba berbakti padanya, beri hamba kesempatan untuk lebih berbakti padanya, beri kesempatan pada kami untuk membesarkan anak-anak kami.
Aku tidak bisa lagi membendung perasaan dan air mata. Ayah terus mengelus punggungku sebagai tanda dukungannya.
"Kita berdoa terus ya Nak, kamu juga harus kuat agar Kafa juga semangat untuk sembuh."
Aku hanya mengangguk sambil sesenggukan, muncul lagi dalam pikiranku kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana aku juga melihat kedua orangtua yang teramat aku cintai tertidur lemas dengan banyak luka di tubuhnya. Perasaanku kembali menciut, aku tidak bisa lagi melihat orang yang aku cintai terluka seperti ini, aku tidak mau kehilangannya dengan cara seperti ini lagi.
*****
Saat ini aku masih menemani Mas Kafa, rasanya tidak akan bisa aku jauh darinya. Terhitung sudah empat hari Mas Kafa belum sadarkan diri. Sejak kemarin doa dan dukungan dari keluarga dan orang-orang yang sayang dengan kami terus berdatangan meskipun banyak dari mereka hanya bisa melihat dari luar karena tidak boleh lebih dari dua orang yang diijinkan masuk.
Aku sering mengaji di sampingnya, mengajaknya bicara berharap dia segera sadar dan kembali sehat. Namun sepertinya aku harus lebih sabar.
"Biya, kamu pulang dulu ya, dari kemarin kamu belum istirahat, jaga kondisi kamu juga." Kata Umi yang sejak dua hari lalu di sini.
"Biya di sini saja Umi, Biya enggak bisa ninggalin Mas Kafa, Biya takut seperti dulu, orangtuaku pergi di saat Biya pulang kerumah."
"Insyaallah Kafa akan sembuh kembali, ingat sebentar lagi kamu 4 bulanan, Kafa pasti sembuh karena dia yang paling semangat"
Akhirnya setelah paksaan dari keluarga, sore hari aku pulang untuk beristirahat ditemani Fahma dan Devi. Aku bersyukur keadaanku baik-baik saja, kemarin aku juga sempat periksa ke dokter kandungan, alhamdulillah seperti tahu kondisi ayahnya dan ingin ikut menjaga ayahnya, bayiku sehat dan baik-baik saja.
Aku mencoba memejamkan mata di kamar, namun rasanya tetap susah. Kamar ini terasa begitu luas dan sepi. Hawa dingin menguasai seluruh ruangan ini. Baru dua jam aku di rumah tapi rasanya sudah ingin melihat Mas Kafa lagi.
"Biya kita harus ke rumah sakit. Mas Kafa kritis lagi." Ujar Fahma tenang tapi ekspresi wajahnya tegang. Tanpa pikir panjang aku langsung ke rumah sakit. Rasanya entah bagaimana aku tidak bisa mengungkapkan lagi.
Jagain Bunda kalau Ayah enggak ada!
Kata-kata Mas Kafa pagi itu terus terngiang di telingaku, aku mencoba membuang jauh perasaan takut ini namun nyatanya semakin jelas. Aku hanya memejamkan mataku, nafasku berat, rasanya sudah tidak sanggup lagi menangis.
Sesampainya di rumah sakit, keadaan sungguh tidak ingin ku lihat. Ibu sudah menangis tersedu-sedu memanggil nama Mas Kafa di pelukan Dani suami Azka, ayah duduk dan di tenangkan oleh Abah. Umi juga menangis berpelukan dengan Azka. Yang lain juga menunjukkan waajah khawatirnya.
Aku diam di tempat merasa langkahku semakin berat, tak ingin aku mendekat dan tahu kenyataan apa yang terjadi di sana. Aku memegang tangan Devi dengan kuat, aku tak punya tenaga untuk mendekat. Aku tidak sanggup mendekat. Mas Kafa pasti baik-baik saja.
Dengan sisa tenagaku, aku mendekat bersamaan dengan dokter yang keluar dari kamar Mas Kafa.
"Mohon maaf Pak Nur!"
Hanya kata itu yang sempat aku dengar lalu jeritan ibu memanggil Mas Kafa. Lalu semuanya gelap segelap hari ini dan hariku kedepan tanpa Mas Kafa.
Mas Kafa! Biya cinta sama Mas Kafa. Biya ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Kafa Biya (Terbit)
Teen FictionCinta akan indah pada waktunya di bawah ikatan halal. Cerita tentang seorang gadis yatim piatu berlatar belakang santri sebuah pondok pesantren mencoba kuliah mewujudkan cita-cita mendiang orangtuanya. Namun di tengah jalan dia mendapat banyak mas...