Nadia menghela nafasnya jengah menatap lapangan di luar sana yang terlihat jelas dari balik jendela. Matanya terasa tak ingin berpindah. Entahlah, ia pun tak memahaminya. Perasaan bingung masih saja menyelimuti pikirannya.
"Gue mimpi apa gimana sih semalem?" Ucapnya bingung.
"Lo kenapa Nad?" Tanya Mauren teman sekelas Nadia tiba-tiba.
Nadia mengedikkan bahunya lalu menghembuskan nafasnya gusar "Gue juga gak tau Ren"
Mauren terdengar menghela nafasnya "Raka lagi? Sampe kapan sih lo mau nyembunyiin perasaan lo Nad?"
Sedetik kemudian, Nadia menatap Mauren bingung. Apa maksudnya?
"Maksud lo?"
Mauren memutar kedua bola matanya malas "Lo tuh udah ketahuan banget lagi Nad kalo lagi suka sama Raka. Sampe kapan mau pura-pura gak tau sama perasaan lo? Sampe bumi berubah bentuk?"
Nadia kembali menatap lapangan di luar sana dengan pikiran yang berlarian entah kemana "Gue gak yakin Ren sama perasaan gue, Gue takut" Ucapnya kemudian.
"Gue tau pasti lo mikirin Rosa kan?" Mauren menghela nafasnya dalam "Sampe kapan lo mau mikirin orang terus? Rosa juga gak akan seneng kali liat lo kayak gini terus, pikirin diri lo. Pikirin hati lo"
Nadia terlihat berpikir. Sampai kapan ia harus memikirkan perasaan seseorang yang telah tiada? Entah, ia tak tau.
"Kenapa harus Raka Ren?" Ucap Nadia menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya di atas meja.
Tangan Mauren beralih untuk menepuk-nepuk bahu Nadia menenangkan "Gak semua yang lo mau harus jadi takdir lo Nad. Tuhan tau mana yang lebih baik buat lo maupun Raka" ucap Mauren bijak.
Ingin rasanya Nadia menangis saat ini, menumpahkan segala perasaanya. Ingin ia bertanya pada Tuhan, mengapa ia setidak adil ini padanya?.
Nadia mengurungkan tangisannya, tak ingin terlihat lemah "Gue harus gimana Ren?" Tanyanya pasrah.
"Ikuti kata hati lo, kalo lo suka bilang Nad. Jangan sampe ntar lo sendiri yang nyesel di kemudian hari"
"Gue sayang sama dia Ren tapi–" Wajah Nadia terlihat melesu, memikirkan betapa jahatnya dirinya jika menerima perasaannya saat ini. Apakah ia egois saat ini? "Rosa?" Ucap Nadia lirih.
Mauren sekali lagi menghela nafasnya dalam. Menasehati seorang Nadia memang membutuhkan kapasitas kesabaran yang berlebih menurutnya.
"Sampe kapan sih lo mau merasa bersalah terus Nad? Rosa? Rosa pasti paham sama posisi lo sekarang. Dia tau lo bukan mau gantiin posisi dia Nad"
Nadia terlihat berpikir sejenak hingga akhirnya ia memutuskan untuk pasrah akan takdirnya. Benar kata Mauren, sampai kapan dirinya akan terus merasa bersalah? Toh, bukan dia yang menginginkannya bukan?
*****
Raka menatap ponselnya dengan bimbang. Ia penasaran dengan jawaban dari Nadia atas pengakuannya tadi malam. Namun, sedari tadi tak ada satupun ucapan ataupun pesan dari Nadia yang ia terima.
"Dih, pengecut banget sih gue nunggu lewat hp buset" ucapnya mengatai diri sendiri.
"Samperin aja kali yak?–"
"Nggak, nggak, ntar gue kesannya maksa banget lagi–"
"Au ah pusing gue" Ucapnya lalu melangkahkan kakinya menuju kantin.
"Hai kak?"
Raka mengangkat satu alisnya bingung "Clara? Ada apa?" Tanyanya bingung melihat Clara yang tiba-tiba saja berada di depan kelasnya.
"Itu kak, hmm.. kantin yuk?"
Dikejauhan, Nadia menatap itu dengan malas. Sungguh merasa menyesal atas keputusannya menemui Raka kali ini. Wajar saja bukan? Memangnya ia siapa harus marah kepada Raka jika ia bertemu gadis lain di sekolah? Itu terlalu wajar.
Nadia menghembuskan nafasnya perlahan lalu melanjutkan perjalanannya menuju Raka.
"Ada waktu gak Ka?" Tanya Nadia saat sudah berada di tempat yang ditujunya yang langsung mendapat tatapan bingung dari Clara saat itu.
"Ada kok, kenapa?"
"Gue ada perlu bentar sama lo" ucap Nadia lagi tak memedulikan wajah Clara yang menampakkan sedikit rasa kesal di sana saat ini.
"Yaudah ayo"
"Aku ikut yah kak?" Pinta Clara mencegah.
"Gue butuhnya Raka–" Nadia menatap Clara tak suka"Bukan lo"
Raka menatap keduanya bergantian. Merasa bingung dengan keadaan. Tapi jujur saja, ada sedikit rasa bahagia di dalam sana ketika mengetahui saat ini Nadia terlihat cemburu.
"Udah, udah, hmm.. Clara gak usah ikut yah soalnya gue lagi ada urusan berdua sama Nadia" ucapnya melerai.
"Harus banget pamitan yah?" Tanya Nadia ketus.
"Hah?" Tanya Raka tak mengerti.
Nadia memutar kedua bola matanya malas menanggapi lalu berjalan mendahului begitu saja meninggalkan Raka dengan senyuman tipisnya.
"Cemburu ya?" Tanya Raka jail saat sudah berada di Taman belakang sekolah.
"Idihh, pede banget lo"
"Terus kenapa tuh muka di tekuk mulu?"
"Serah gue dong"
Raka menghela nafasnya gusar "jadi keperluan apa yang lo mau omongin ke gue?" Tanyanya to the point.
Seketika wajah Nadia berubah menjadi tegang. Mampus gue Batinnya. Nadia menutup matanya berharap di dunia ini hanya ada dirinya saja.
"Gue suka sama lo" ucapnya hanya seperkian detik membuat Raka berpura-pura tak mendengarnya.
"Apa? Gak kedengeran, ngomong yang jelas dong"
Nadia menggigit bibir bawahnya gemas, takut mengakuinya untuk kedua kalinya "Gue suka sama lo Ka, ih"
"Ohh suka, kalo misalnya gue–" Raka menggantung kalimatnya hingga Nadia merasa takut bahwa yang tadi malam itu hanyalah sebuah mimpi.
"Apa?" Tanyanya menatap wajah Raka bingung.
"Kalo gue gak suka sama lo gimana?"
Boleh gak gue terjun sekarang aja? Batin Nadia.
"A..anu.."
"Soalnya gue gak suka sama lo–" mencelos sudah hati Nadia mendengarnya.
"Tapi gue sayang sama lo" tambahnya dengan wajah tak bersalah.
Nadia membelalakan matanya tak percaya. Mimpi kah ia saat ini?
"Jadi?" Tanya Raka.
Nadia mengerutkan dahinya tak mengerti "Jadi apa?"
Raka menutup matanya gemas "Jadi sekarang lo–Nadia Wulandari resmi jadi pacar gue, paham nyonya?" Jelas Raka.
Nadia tersenyum lalu mengangguk mengerti akan ucapan Raka tadi.
*****
Mau nanya dong, kesan pertama kalian baca cerita ini apa?
Jangan lupa support cerita ini terus yah^^
Love u all❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Ain't Together [Sedang Direvisi]
Teen FictionRaka menghela napasnya berat sembari menutup matanya tak bisa lagi berbicara. Hatinya sakit. "Kita pulang yah?" ucapnya lembut pada Nadia yang tengah tertunduk lesu. Nadia mengangguk lemah sebagai jawaban lalu berjalan gontai yang langsung di bantu...