1-Adara Mikhayla Siregar

7K 429 80
                                    

"Hanya laki-laki kere yang menganggap perempuannya matre."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Adara Mikhayla Siregar, itulah nama yang Papah berikan. Lahir dari keluarga berada dengan kemampuan finasial di atas rata-rata membuatku hidup bergelimang harta. Tak ada istilah sengsara dan menderita. Apa pun yang aku mau dan pinta pasti akan dengan mudah kudapatkan.

Aku adalah orang yang begitu pemilih dan perfeksionis, termasuk memilih seseorang yang akan kujadikan sebagai teman. Teman kencan lebih tepatnya. Standar yang kupatok terlampau tinggi dan sulit digapai oleh sebagian orang. Syarat pertama dan yang paling utama harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya serta yang pasti wajib berkantung tebal.

Cewek matre. Begitulah julukan yang kudapatkan dari orang-orang. Tersinggung? Kesal? Marah? Tentu saja tidak. Hidup itu harus realistis, terlebih lagi di zaman seperti sekarang yang apa-apa memerlukan uang. Bodo amat dengan penilaian orang, toh ini adalah hidupku bukan hidup mereka.

Tak ada faedah-nya mendengarkan omongan orang yang jelas-jelas tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Terlalu buang-buang waktu dan tenaga jika mengurusi hal semacam itu, yang hanya akan membuat hati kotor. Penyakit hati itu sangat berbahaya dan tidak baik untuk dikembangbiakan.

"Mah, Adara pergi ngampus dulu," pamitku setelah mencium punggung tangan Mamah. Di usianya yang sudah memasuki angka setengah abad itu masih terlihat muda dan segar.

"Diantar sopir?" tanyanya dengan suara lembut menenangkan. Aku menggeleng serta menampilkan deretan gigi putih bersihku.

"Sekarang sama yang mana lagi, hm?" selidiknya yang sudah begitu paham dan mengerti dengan kode yang kuberikan.

"Yang pasti beda sama yang kemarin," kataku santai tanpa beban. Dari ujung mata aku melihat Mamah menghela napas singkat sebelum berucap, "Kapan kamu berhenti bermain-main dengan banyak pria, Adara?"

Mungkin setiap harinya ada sekitar dua atau tiga pria yang datang ke rumah. Hanya untuk sekadar mengantar jemputku saja, entah itu ke kampus ataupun hangout. Kebanyakan dari mereka merupakan pria yang sudah mengenalku lama.

Jika sudah bertanya demikian, itu artinya Mamah sudah muak dan kesal melihat tingkahku---yang menurut sebagian orang berlebihan. Aku sih tak ambil pusing. Terserah mereka saja mau berkomentar apa.

Mendudukkan bokongku di samping Mamah yang sedang berkutat dengan benang serta jarum. Menyulam, itulah kegiatan Mamah untuk membunuh kebosanan. "Mereka cuma temen aja, Mah. Gak lebih," ucapku sama seperti sebelum-sebelumnya.

Terlihat Mamah menaruh alat-alat tempurnya di atas meja. Menatap wajahku dengan begitu intens. "Itu sama saja kamu memanfaatkan mereka, Nak. Kamu gak memberikan status, tapi mereka harus memenuhi permintaan dan kebutuhan kamu. Apa fasilitas yang Mamah dan Papah berikan kurang?"

Aku menarik napas panjang dan membuangnya kasar lalu berujar, "Adara gak minta tapi mereka sendiri yang memberikannya." Apa yang kukatakan adalah sebuah kejujuran. Aku bukan tipe orang yang suka berbohong dan menutupi sesuatu agar dipandang baik.

"Tapi kamu kan bisa nolak, Sayang," tuturnya seraya merapikan surai rambutku ke belakang telinga.

Aku menarik tangan Mamah agar berada dalam genggaman. "Adara gak mau buat mereka kecewa karena nolak pemberiannya. 'Menolak pemberian orang lain itu gak baik, itu sama saja seperti kamu gak menghargainya'. Itu kan yang pernah Mamah bilang sama Adara?"

Mamah memberikan delikan tajamnya, yang justru kubalas dengan kekehan. "Sudah ah, Adara mau ke kampus dulu," kataku sembari bangkit dan berjalan ke luar.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang