24-Hujan

1.2K 175 2
                                    

"Aku terlalu berekspektasi tinggi hingga lupa daratan dan kehilangan pijakan."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Apa yang diharapkan dari hubungan yang tak diinginkan? Semua orang pasti akan lebih memilih mundur daripada berjuang bukan pada tempatnya. Hanya membuang-buang waktu saja, percuma rasanya. Begitu pula aku yang memang tak pernah menginginkan berada di posisi seperti sekarang.

Dan aku pun tak ingin orang lain merasakan apa yang sedang saat ini kurasakan. Bertahan dalam keterpaksaan dan menggenapkan kontrak kerja sama yang sudah disepakati. Pernikahan bukanlah hal yang patut untuk dipermainkan, tapi secara terang-terangan aku mempermainkan ikatan sakral tersebut. Janji di hadapan Tuhan seakan tak berarti apa-apa.

Entah sampai kapan jiwa dan ragaku bisa bertahan hidup dengan dia yang sama sekali jauh dari harapan. Aku terlalu berekspektasi tinggi hingga lupa daratan dan kehilangan pijakan. Terlalu banyak pria yang kucampakkan dan permainkan, hingga kini aku merasakan karma atas perlakuan tak manusiawiku pada mereka.

Terjebak dalam pernikahan dengan pria yang jelas-jelas di bawah standar. Kecewa? Marah? Kesal? Tak terima? Jelas. Semua itu yang sampai saat ini kurasakan. Ingin memberontak dan meninggalkan semuanya tanpa kejelasan, tapi takut akan berimbas buruk pada kedua orang tuaku. Kebimbangan dan kegamangan itu tak pernah absen berkeliaran dalam benakku.

"Aku harus balik ke kantor lagi, gak papa kan kalau kamu pulang sendiri?" Aku langsung tersadar dari lamunan yang cukup panjang saat mendengar suara bass milik Lukman.

Aku sedikit membasahi kerongkonganku terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab, "Gak papa, kerjaan lo lebih penting." Dia mengangguk dan menyunggingkan sedikit senyumnya lantas berlalu pergi meninggalkanku sendiri.

Suara yang berasal dari gawai menarik perhatianku untuk segera mengalihkan fokus. Sebuah pesan dari Lukman tertera di sana, kedua sudut bibirku tanpa sadar terangkat saat membaca isi pesan singkat tersebut.

Makanan sudah aku bayar
Hati-hati di jalan.

Hanya berupa dua kalimat singkat saja memang tapi entah mengapa aku begitu senang membacanya. Lukman memang paling bisa menyenangkan hatiku. Perhatian kecilnya selalu membuatku terbang ke awang-awang.

Berbeda sekali dengan Arda. Ish, kenapa aku selalu membanding-bandingkan Lukman dengan Arda sih? Jelas-jelas mereka sangat berbeda jauh. Daripada pikiranku semakin konslet tak keruan, lebih baik pulang dan mengistirahatkan otak yang sudah lelah karena terlalu banyak pikiran.

"Naik." Fokusku langsung teralihkan. Yang semula tertuju pada gawai kini melihat ke arah depan, tepat sekitar dua langkah kakiku.

Kedua mataku membola tak percaya melihat keberadaan Arda yang sudah nangkring di depan restoran dengan sepeda motornya. What? Jadi daritadi dia ada di sini dan menungguku berjam-jam. Akal dan pikirannya entah disimpan di mana. Dia terlalu sulit untuk dimengerti, sebentar-bentar bersikap dingin, acuh tak acuh. Tapi dalam waktu yang berdekatan sifatnya bisa berubah total. Aku curiga dia memiliki kepribadian ganda.

"Ayo naik buruan sebentar lagi hujan," katanya dengan tangan seraya menyerahkan penutup kepala. Aku hanya diam tanpa suara.

"Hey, kok malah bengong." Dia melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku.

Aku terkesiap dan segera naik ke atas motor, kedua tanganku sibuk mengaitkan tali pengaman agar helm yang kugunakan tak terlepas.

Rintik-rintik hujan sudah mulai membasahi tubuhku yang saat ini menggunakan kemeja putih, yang menyebabkan bagian tubuhku tercetak dengan jelas. Hawa dingin pun semakin menusuk ke tulang-tulang, inilah yang paling tidak kusukai bila menggunakan motor dalam keadaan hujan. Basah kuyup sudah pasti akan kualami. Laju motor semakin melambat dan tak lama berhenti tepat di depan halte, aku langsung turun dan berlari agar tak kembali diserbu oleh titik-titik air hujan.

"Pake." Arda menyerahkan jaketnya yang sudah lumayan basah padaku. Aku hanya menatapnya tanpa minat sedikit pun. Mana mau aku memakai pakaian bekas orang lain.

Aku mendelik tajam ke arahnya karena sudah lancang menyampirkan jaket basah itu ke tubuhku. "Gue gak mau pake baju bekas lo, Arda!" desisku.

Arda menghela napas singkat. "Ini untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya." Aku mendengus tak suka, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti permintaan Arda.

Hujan belum kunjung reda bahkan semakin membesar, sedari tadi aku hanya duduk diam dan merapatkan jaket milik Arda agar tubuhku sedikit merasakan kehangatan. Mau sampai kapan aku berdiam diri di sini? Badanku semakin menggigil karena tak terbiasa berkawan dengan hujan.

Mataku memicing saat ada sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan halte, dan tak lama dari itu Arda berjalan serta memasuki mobil tersebut. Entah apa yang akan pria itu lakukan. Aku mendengus tanpa sadar dan pikiran buruk mulai saling berkeliaran.

Apa dia akan meninggalkanku sendirian di sini? Jika memang hal itu terjadi, akan kulenyapkan dia sekarang juga. Dasar laki-laki tak bertanggung jawab. Mamah dan Papah sudah salah memilihkan pasangan untukku. Lihat saja akan kuadukan pada Tante Annisa dan juga Om Arga. Biar tahu rasa dia.

Terlihat pintu mobil yang kembali dibuka, dan muncullah Arda dibaliknya. Aku memalingkan wajah pongah melihat langkah dia yang semakin dekat padaku. Apa yang akan dia lakukan? Huh, paling juga dia akan mengatakan, "Dar aku pulang duluan yah." Awas saja kalau sampai benar kalimat itu yang dia ucapkan.

"Kamu pulang duluan, aku sudah pesankan taksi online," katanya. Aku terkejut bukan main dengan apa yang baru saja kudengar. Apa dia tidak salah berucap?

Tapi detik berikutnya aku bangkit dan berujar, "Kenapa gak dari tadi sih? Sengaja banget lo mau nyiksa gue dulu." Bukannya berterima kasih aku malah melontarkan kata-kata pedas.

Dengan tidak sopannya aku pun melemparkan jaket yang tadi sempat menghangatkan tubuhku. "Makanya kalau mau ajak gue jalan modal dikit."

Arda diam dengan pandangan kosong, tapi aku tak peduli sama sekali. Aku hanya berbicara fakta dan seharusnya dia menerima akan hal itu. Tidak ada sejarahnya seorang Adara Mikhayla Siregar basah kuyup karena kehujanan. Sangat memalukan. Kendaraan beroda dua itu memang bisa diandalkan jika dalam keadaan genting, tapi tidak fleksibel untuk menjadi kendaraan sehari-hari, apalagi jika musim hujan seperti ini.

"Maaf." Dari gerak bibirnya aku melihat Arda mengatakan satu kata itu, tapi aku tak berminat untuk membalas ucapannya. Dari kaca mobil yang sudah tidak begitu jelas aku melihat Arda yang masih berdiri di depan halte. Apa dia gila? Sudah tahu sedang hujan dan dia malah sengaja berdiri di tengah guyuran air tersebut.

Dasar laki-laki aneh. Sudah kusakiti berkali-kali tapi masih saja mau berbaik hati padaku yang tak tahu diri ini. Dimaki ratusan kali tapi seperti tak ada minat untuk membalas perbuatan kurang ajarku padanya. Dia itu manusia apa bukan sih? Punya sifat baik kok kebangetan.

Mobil melaju dengan tenang di tengah guyuran hujan yang semakin lebat. Selang beberapa menit kemudian kendaraan beroda empat itu berhenti tepat di depan rumah yang aku dan Arda tempati. "Berapa, Pak?"

"Sudah dibayar, Mbak," sahutnya. Aku langsung turun tanpa berkata apa-apa lagi. Baguslah dia bertanggung jawab dan tidak membebaniku dengan ongkosnya.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang