45-Sebuah Permulaan

1.2K 169 12
                                    

"Kita bisa memilih untuk mencintai siapa, tapi kita tidak pernah bisa memilih untuk menikah dengan siapa, karena perkara jodoh mutlak berada di tangan-Nya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Ikhlas adalah kata yang paling mudah diucapkan tapi paling sulit untuk dilakukan. Ya, harus kuakui bahwa memang itu benar adanya. Bibirku berkali-kali mengucapkan ikhlas, tapi hatiku tak bisa dibohongi bahwa masih ada sesuatu yang mengganjal. Entah apa aku pun tak tahu dengan pasti, tapi aku tak ingin terus terjebak dengan perasaan yang hanya akan membuatku kembali terjun pada kesalahan yang serupa. Cukup satu kali saja aku melakukannya. Saat ini aku harus mencoba ikhlas dan menjalani semuanya dengan penuh kelapangan dada. Tak ada yang sulit selagi kita mau berusaha dan berdoa kepada-Nya.

"Nah gitu dong akur, kan enak dilihatnya juga," cetus Mamah saat melihat aku dan Arda turun dari tangga untuk menuju ke meja makan. Sarapan pagi bersama.

Selepas acara akad ulang dan resepsi pernikahan aku dan Arda tidak langsung pulang ke rumah, karena Mamah dan Papah meminta kami untuk menginap. Baik aku maupun Arda sama-sama menerima usulan mereka, lagi pula tidur di mana pun tetap sama kok. Sama-sama merem.

Aku tak menyahut dan lebih memilih untuk mendudukkan tubuh di kursi yang sudah tersedia. "Tante Annisa sama Om Arga ke mana? Sudah pulang?" tanyaku setelah menuangkan air putih untukku dan juga Arda. Kedua orang tua Arda pun memilih untuk beristirahat di sini, karena memang acara kemarin lumayan lama dan menguras energi.

"Sudah tadi pagi-pagi banget, ada urusan mendadak katanya," sahut Papah yang sudah bersiap dengan setelan formalnya. Sangat rapi, tampan, dan penuh wibawa.

"Kok masih panggil Tante sama Om sih, Dar. Umi sama Abi dong, mereka juga kan orang tua kamu," protes Mamah yang baru saja meletakkan beberapa lembar roti tawar yang sudah beliau panggang.

"Lupa, Mah. Adara gak biasa," kataku dengan cengiran dan tangan yang sudah siap mengambil roti bakar berselai cokelat itu ke atas piring.

"Biasain dong," keukeuhnya yang kubalas dengan anggukan singkat. Malas jika harus memperpanjang obrolan yang ujungnya berakhir dengan perdebatan, lebih baik iyakan saja maunya. Kan selesai.

Aku menyodorkan piring yang sudah terisi dengan dua lembar roti bakar ke hadapan Arda. Dia tak menyambutnya dan malah berkata, "Aku gak biasa makan roti, Dar."

Aku kembali meletakkan piring tersebut di atas meja, lantas berjalan ke arah dapur untuk memasakkan nasi goreng untuknya. Aku sedang belajar menjadi istri yang baik dan benar, dan semoga saja tidak gagal serta mengecewakan.

"Mau ke mana kamu? Malah nyelenong gitu saja," oceh Mamah yang membuat laju tungkaiku terhenti sesaat. Memutar tubuh agar menghadap beliau dan berucap, "Mau ke dapur buat nasi goreng, Mah."

Mamah berjalan cepat menghampiriku, meraba-raba keningku dengan tangan kanannya sampai berulang kali. "Kamu sehat kan, Nak? Gak lagi sakit atau ketempelan apa gitu," katanya dengan enteng dan tampang polos.

Aku menggeleng pelan menghadapi kelakuan absurd Mamah. "Adara sehat, Mah. Sudah ah jangan gerecokin Adara," ujarku dan langsung bergegas ke dapur.

Aku membuka kulkas, mengambil telur, sosis, dan baso untuk dijadikan bahan tambahan pelengkap. Mengiris bawang merah, cabai rawit, lantas memasukannya ke dalam wajan yang sudah berada di atas kompor. Setelah baunya tercium harum, aku langsung memasukan telur yang sudah kukocok terlebih dahulu, setelahnya aku masukan sosis, dan baso, yang sebelumnya sudah kupotong-potong. Setelah dirasa cukup matang aku langsung memasukan satu piring nasi putih ke dalamnya. Mengaduk-aduk dan memberikan bumbu penyedap serta kecap manis. Dan setelah semuanya benar-benar matang aku langsung menyajikannya di atas piring saji.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang