62-Sidang

1.2K 144 12
                                    

"Aku bukanlah wanita ahli ibadah yang mengamalkan berbagai sunnah. Tapi dengan tak tahu malunya aku mengharapkan imbalan berupa Jannah."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Sesuai jadwal hari ini aku akan melaksanakan sidang skripsi, penentu lanjut atau tidaknya aku ke tahap berikutnya. Hatiku sudah ketar-ketir tak jelas takut tak bisa memaksimalkan kemampuan bicara yang kumiliki. Terlebih lagi aku masih berat hati karena harus meninggalkan Arda di rumah sakit hanya dengan ibunya. Walaupun dia sudah mengatakan baik-baik saja tapi tetap saja hal itu tak bisa membuatku tenang dan lega seratus persen.

Pasalnya dokter mengatakan bahwa Arda harus melakukan serangkaian pemeriksaan agar kondisinya benar-benar sembuh total. Dia belum bisa berjalan karena dia pun mengeluhkan kakinya yang seperti mati rasa sulit untuk digerakkan. Oleh sebab itu dia harus menjalankan terapi agar bisa kembali berjalan seperti sedia kala. Tidak hanya itu saja pada saat kemarin malam aku tak sengaja memergokinya yang tengah merintih kesakitan memegangi kepala.

Aku shock bercampur cemas karena takut terjadi hal buruk padanya, benturan di kepala yang dia alami cukup parah dan jujur itu membuatku takut bukan main. Dokter pernah mengatakan bahwa seseorang yang bangun dari koma tidak semuanya bisa kembali pulih seperti semula, kemungkinan cacat, dan lumpuh itu ada. Dan aku sangat takut jika hal buruk tersebut menimpanya.

"Jangan khawatir ada Umi yang jagain suami kamu," kata Tante Annisa saat aku begitu enggan meninggalkan Arda yang kini sudah terlelap dalam tidurnya. Setelah sarapan dan meminum obat dia mengeluh ngantuk dan akhirnya kini dia sudah tepar di atas ranjang.

Aku hanya diam tak merespons apa pun, yang kulakukan justru menatap sendu ke arah Arda yang begitu damai dalam tidurnya. Aku takut kedua mata yang sudah terbuka itu kembali tertutup dengan rapat.

"Ayo berangkat, Sayang nanti telat. Umi antar ke depan deh," bujuknya dengan sunggingan manis terpatri apik di sana.

Aku menghampiri brankar yang tengah Arda tempati, mengambil tangan kanannya dan langsung kusalami. "Aku pergi dulu, Mas. Doain aku yah semoga sidangnya lancar dan aku bisa cepet-cepet balik lagi ke sini," kataku dengan suara pelan.

Setelahnya aku langsung menganyunkan kaki dan mendekat ke arah Tante Annisa. "Adara pamit dulu yah, Umi," ucapku yang beliau balas dengan anggukan serta elusan lembut tepat di atas ubun-ubunku.

"Iya Sayang, Umi doakan semoga semuanya berjalan dengan lancar. Mau Umi antar?" sahutnya yang kujawab dengan gelengan.

"Assalamualaikum," salamku seraya mengecup lembut punggung tangan beliau.

Tante Annisa tersenyum hangat dan berucap, "Wa'alaikumussalam warohmatulloh, hati-hati di jalan." Aku kembali mengangguk dan berjalan menjauh keluar ruangan.

•••

Tak memerlukan banyak waktu untuk menunggu akhirnya kini giliranku untuk menghadap pada dosen dan penguji. Hatiku sudah harap-harap cemas, takut tak mampu melewati masa-masa mendebarkan ini. Bismillah, aku mencoba untuk menguatkan hati dan diri bahwa aku mampu dan bisa melewati semua ini.

Waktu sekitar satu jam terasa sangat panjang, dan rasanya aku ingin mempercepatnya agar segera usai. Aku hanya diberi waktu sekitar 15 menit untuk mempresentasikan hasil penelitian yang kutuangkan dalam wujud proposal. Dan sisanya dihabiskan untuk sesi tanya jawab yang sumpah demi apa pun sangat menguras kerja otak dan tingkat kesabaran.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang