39-Berpisah?

1.5K 176 4
                                    

"Kalau dengan berpisah kita bisa sama-sama bahagia. Kenapa harus tetap memaksakan bertahan dalam tekanan?"

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Karena ulah Mamah yang mengunci pintu kamar dari luar alhasil aku dan Arda terkurung dalam satu ruangan. Hanya berdua saja. Aku takut dia melakukan hal yang tidak-tidak, terlebih lagi jika mengingat penuturan Mamah tadi yang memintaku dan Arda untuk bertanggung jawab atas kebohongan yang sudah kuperbuat.

Suara kumandang azan Magrib menggema menghentikan segala asumsi dan pemikiran yang saling tumpang-tindih memenuhi kepala. Arda memintaku untuk segera mengambil air wudu dan menjalankan ritual salat jamaah. Awalnya aku menolak karena masih parno dengan kejadian yang dulu. Tapi karena waktu Magrib yang singkat dan juga keadaan yang memaksa akhirnya aku mengikuti titahnya.

Aku duduk di atas sajadah dan memakai mukena sambil menunggu Arda selesai mengambil air wudu. Tak lama Arda muncul di balik pintu dengan wajah dan rambutnya yang basah. Aku langsung memalingkan pandangan saat tertangkap basah tengah melirik sekilas ke arahnya.

"Langsung salat Magrib, gak ada salat sunnah-sunnah'an," ucapku saat Arda sudah berdiri di posisinya. Anggukan kecil dia berikan sebagai jawaban.

Suara takbir dengan diiringi angkatan kedua tangan memulai acara ibadah kami. Lantunan ayat suci Al-qur'an begitu mengalun indah dari sela bibirnya, hatiku sangat merasa tenang dan damai. Aku sama sekali tak fokus dan malah hanyut dalam suaranya. Selama ini aku tak pernah meresapi dengan betul suara Arda saat melantunkan Kalam Illahi tersebut. Ini adalah kali pertama aku merasa nyaman berada di dekatnya.

Sampai akhirnya suara salam terdengar, tanda salat telah usai dilakukan. Jika biasanya aku langsung lari tanpa melantunkan doa terlebih dahulu, kini aku malah duduk anteng dan menengadahkan kedua tangan. Mengaminkan doa yang Arda panjatkan. Entah apa yang dia ucapkan aku tak mengetahui artinya. Tapi hatiku terasa tersentil dengan doa-doa yang dia panjatkan. Aku merasakan ada ketenangan hati dan jiwa yang selama ini belum pernah kudapatkan.

Segala urusan dunia yang selalu tumpang tindih memenuhi kepala entah mengapa saat ini hilang lenyap hanya dengan mendengar lantunan doa yang Arda gaungkan. Selama ini aku menjalani ibadah hanya karena rasa takut akan amukan Mamah. Salat yang kudirikan hanya sebatas gerakan tanpa iman. Bacaan demi bacaan yang kuucapkan pun hanya bermodalkan hapalan.

Otakku terus bekerja hingga sebuah pertanyaan besar menyapa. Kenapa Allah menjodohkanku dengan Arda yang sangatlah tidak sepadan dan berbeda pandangan? Bukankah jodoh itu cerminan diri? Tapi kenapa hal itu berlainan dengan apa yang kualami. Apa mungkin Allah telah salah dalam memilihkan pasangan untukku. Dia yang taat harus disandingkan denganku yang gemar maksiat. Rasanya itu sangat tidak adil dan merugikan bagi Arda.

"Kamu kenapa, Dar? Kok bengong." Aku terkesiap saat mendapati suara Arda yang terasa begitu dekat. Aku mendongak dan mendapati dirinya yang ternyata sudah duduk menghadap ke arahku.

"Kenapa lo mau nurutin permintaan Bokap sama Nyokap gue? Sedangkan gue tahu di luaran sana masih banyak perempuan yang jauh lebih baik dari gue. Kenapa harus gue?" Pertanyaan itu meluncur bebas tanpa bisa kucegah. Perasaanku sudah sangat campur aduk dan tak bisa diterjemahkan dengan kata. Entah apa yang saat ini tengah mengganggu kinerja otak dan juga hatiku.

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?" sahutnya dengan kening berlipat-lipat. Aku tahu dia heran dan bingung dengan tingkahku saat ini, karena aku sendiri pun merasakan hal serupa dengan yang tengah dia rasakan.

Aku diam tak mau menjawab. Tapi sorot netraku meminta dia untuk mengutarakan alasan di balik adanya pernikahan ini. "Dalam urusan jodoh gak ada istilah kenapa dan mengapa? Karena itu mutlak kuasa Allah. Kamu nanyain ini sama aku? Jelas aku gak bakal bisa jawab. Tapi kamu harus percaya bahwa Allah gak pernah salah dalam memilihkan jodoh untuk setiap hambanya."

Aku termenung mencerna kalimat yang baru saja Arda lontarkan. Aku belum puas mendengar jawabannya yang terlalu klasik dan tidak begitu mendetail. "Jodoh itu misteri Sang Illahi, hanya Dia-lah yang mengetahui. Mungkin ini memang yang tebaik untuk kita berdua," imbuhnya dengan diiringi sunggingan.

"Terbaik? Bukannya jodoh itu cerminan diri. Itu kan yang tertera dalam Al-qur'an? Tapi kenapa untuk kasus kita berdua itu gak berlaku dan malah bertolak belakang," ocehku yang dia sambut dengan kekehan.

"Kamu tahu kisahnya Asiyah, istri Firaun? Atau kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth yang dikarunia istri yang tak taat pada aturan Allah? Apa jodoh cerminan diri itu masih berlaku pada mereka?" Sahutan dari Arda justru membuatku kesal dan tersinggung. Secara tidak langsung dia menyamakanku dengan Firaun dan juga dua istri Nabi tersebut. Kejam sekali dia.

"Mulut lo ternyata lebih pedes dan nyakitin dari orang-orang yang doyan ghibahin gue," kataku dengan tampang judes dan jutek. Enak sekali tuh mulut kalau ngomong. Tidak ada saringannya sama sekali.

Dia tersenyum simpul sebelum berucap, "Jangan terlalu gampang tersinggung dan menyimpulkan. Selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah-kisah terdahulu. Allah pun gak mungkin sembarangan memilihkan jodoh untuk setiap hambanya. Dari kisah Asiyah kita bisa belajar bahwa di balik sebuah kepahitan dan penderitaan ada kisah manis yang menanti kita di depan sana. Allah menjanjikan rumah di surga untuk dia tempati. Atau dari kisah istri Nabi Luth dan juga Nabi Nuh, jangan sampai kita mengikuti jejak mereka hingga Allah menerjunkan kita pada neraka-Nya." Dia terdiam sejenak menatap lekat ke arahku.

"Begitupun dengan kita. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Tugas kita hanya menerima dan juga menjalaninya dengan kelapangan hati. Aku gak bisa mengingkari kalau pernikahan kita ini gak kamu kehendaki, bahkan kita terang-terangan sudah menyalahi aturan-Nya. Janji suci pernikahan di hadapan Allah sudah kita nodai hanya dengan selembar kertas perjanjian yang jauh dari syariat. Aku tahu itu adalah sebuah kesalahan yang melalaikan, tapi karena aku yang gak menginginkan sebuah perpisahan mau gak mau harus mengikuti keinginan kamu." Dia tersenyum getir. Aku bisa melihat raut penyesalan di wajahnya.

"Aku gak mau mengulangi kesalahan yang sama, hanya untuk menghindari sebuah perpisahan. Sekarang aku sudah memasrahkan semuanya pada Allah, apa pun yang akan menjadi keputusan kamu pasti akan aku terima dengan lapang hati. Semuanya belum terlambat kalau kamu gak mau melanjutkan pernikahan ini," tuturnya yang membuatku membatu di tempat. Dia ingin menyerah pada saat acara resepsi pernikahan akan digelar hanya dalam hitungan jam lagi?

Kenapa hatiku mendadak ngilu dan tak terima dengan apa yang baru saja Arda katakan. Apa dia sudah lelah dan tak mau lagi hidup satu atap denganku. Kuakui bahwa memang tindakanku selama ini sudah sangat kurang ajar dan tidak baik padanya. Tapi itu hanyalah wujud pemberontakanku yang tak bisa menerima kenyataan.

"Keputusan ada di tangan kamu. Apa pun yang akan kamu putuskan aku akan menerimanya. Aku gak mau membebani kamu dengan adanya pernikahan ini. Aku  cukup tahu diri untuk gak bersikap egois dan memaksakan kehendak lagi. Maafin aku, Dar," sambungnya yang berhasil mengobrak-abrik perasaanku menjadi semakin tak keruan.

"Kalau dengan berpisah kita bisa sama-sama bahagia. Kenapa harus tetap memaksakan bertahan dalam tekanan?" Kalimat itulah yang keluar dari sela bibirku. Aku bingung untuk  mendefinisikan suasana hatiku saat ini.

Dia tersenyum dengan begitu manis dan terlihat sangat tulus. "Makasih untuk tiga minggu kebersamaan kita. Maaf karena aku belum bisa menjadi suami yang sesuai dengan harapan kamu," tuturnya yang demi apa pun sangat berdampak buruk pada kesehatan hatiku. Rasanya sangat sesak dan begitu menyakitkan.

Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Jika dia sudah menyerah dan tidak ingin lagi melanjutkan hubungan ini. Ya sudah aku akan mengabulkannya. Bukankah ini yang sudah sangat kunanti-nantikan sejak dulu? Berpisah dan kembali menyandang status lajang. Tapi kenapa ada satu sisi hatiku yang memberontak tak setuju. Perasaan ini sungguh membuatku pening bukan main.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang