34-Kejujuran

1.3K 166 5
                                    

"Memilihku sebagai wanitanya sama saja seperti menerjunkan dirinya pada neraka dunia yang kuciptakan tanpa sadar."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Hukum sebab akibat itu memang benar adanya, dan saat ini aku tengah mengalaminya sendiri. Aku menanam banyak kebohongan besar dan sekarang aku harus menelan bulat-bulat sebuah kepahitan. Menjadi seorang pendusta ulung ternyata begitu mengerikan. Dibayangi dengan dosa yang selalu mengitari tanpa henti, semuanya sudah sangat lengkap. Aku menyesal karena pernah merangkai sebuah kebohongan. Kukira itu akan membuatku terbebas dari jerat pernikahan. Tapi pada kenyataannya itu malah semakin memperunyam masalah. Aku sangat tak suka dengan diriku yang sekarang tercatat sebagai pendusta ulung.

"Kenapa lo pake acara ngomong ke Nyokap gue segala sih?" Aku langsung menghadiahi Arda dengan pertanyaan tajam.

Mamah langsung pulang saat mengetahui kabar palsu yang Arda beberkan. Beliau begitu senang dan antusias, bahkan katanya beliau akan segera mengadakan syukuran. Arda kurang ajar! Bisa-bisanya dia mengambil keputusan besar tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. 

"Aku gak mau ambil risiko, Adara. Mau bagaimana pun anak yang kamu kandung berhak menerima pengakuan, apalagi kedua orang tua kamu. Insya Allah aku ikhlas dan akan menganggap anak Lukman sebagai anakku sendiri," katanya dengan senyum mengembang yang dipaksakan.

Aku sudah kehabisan kata-kata dan bingung harus menjawab apalagi. Hanya laki-laki bodoh yang mau menerima kehamilan istrinya yang disebabkan oleh lelaki lain. Dan Ardalah orangnya.

"Lo bodoh, Arda! Lo bodoh!" Aku hanya mampu melontarkan kalimat tajam itu.

Aku tak suka mendapatkan kebaikan Arda yang sudah sangat berlebihan. Seharusnya dia memaki dan memarahiku, sebagaimana yang selalu kulakukan. Bukan malah seperti sekarang.

"Aku tahu, Dar. Cinta memang membutakan serta membinasakan, hingga tanpa sadar membuatku menjadi seperti sekarang. Bodoh? Ya aku memang bodoh Adara."

Persendianku semakin melemas saat mendengar rentetan kalimat yang telah dia lontarkan. Dia telah salah memilihku sebagai pelabuhan hatinya. Ini adalah sebuah kesalahan besar yang pernah Arda lakukan. Memilihku sebagai wanitanya sama saja seperti menerjunkan dirinya pada neraka dunia yang kuciptakan tanpa sadar. Penderitaanlah yang hanya akan dia dapatkan, tak ada sedikit pun kebahagian di sana.

"Cukup! Gue gak mau lagi denger bualan lo!" Sebisa mungkin aku memfokuskan pandangan ke arahnya, tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa seperti ada ribuan ton baja yang menghimpit dada. Rasanya begitu sesak dan menyakitkan. Fakta demi fakta kian bermunculan dan membuat kepalaku pusing tak keruan.

"Aku menerima kamu apa adanya, Adara. Aku tahu kamu gak memiliki perasaan yang sama sepertiku. Tapi aku harap pernikahan kita bisa bertahan dan berumur panjang. Demi calon anak kita," katanya masih dengan senyum lebar.

Berhenti berbuat baik padaku. Aku merasa tidak pantas untuk menerima semua itu. Sangat tidak pantas.

"Tarik semua omong kosong lo! Dan gue minta lo kubur dalam-dalam perasaan lo. Sampai kapan pun gue gak akan bisa bales perasaan lo." Aku harus berhasil membuatnya mundur, kalau perlu membenciku sekalian. Aku tak ingin lagi memperpanjang semuanya, apalagi dengan diiringi banyak kebohongan besar. Cukup sampai di sini saja. Aku sudah tidak kuat lagi.

"Dan catat baik-baik dalam otak lo. Bayi yang gue kandung ini adalah darah daging Lukman. Bukan lo! Camkan itu, Arda."

Arda tersenyum kecut, tapi detik berikutnya dia kembali menarik sempurna kedua sudut bibirnya. "Lukman memang ayah bilogis dari anak kamu, tapi kamu harus ingat, dia sama sekali gak berhak atas anak yang ada dalam kandungan kamu. Anak yang lahir dari hasil di luar pernikahan dinasabkan pada ibunya, kamu. Apalagi di mata negara, sudah pasti anak kalian akan berstatus sebagai anak kandungku, karena kamu gak bisa mengingkari kalau akulah suami sah kamu."

Aku tahu itu. Apa yang Arda ungkapkan memanglah sebuah kebenaran. Mamah selalu mengingatkanku perihal zina dan hukum-hukumnya, saking seringnya diingatkan, hal itu sudah sangat melekat dalam ingatan. Itulah yang membuatku takut hingga tak mengizinkan teman-teman priaku melakukan kontak fisik, sekalipun itu hanya sebatas berpegangan tangan. Itu zona merah dan tak boleh dilanggar.

Memang awalnya hanya sebatas saling bertautan tangan, betatap-tatapan, dan siapa yang tahu dari hal sederhana itu bisa berdampak pada perbuatan zina yang sangat tidak Allah kehendaki. Setan itu sangat pandai dalam menggoda manusia agar mengikuti langkahnya, dan sebisa mungkin aku membentengi diri agar tak terjerumus pada perbuatan zina tersebut. Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Hukum Allah memang tegas dan terkadang mengerikan, tapi hukum manusia jauh lebih menyakitkan. Dicap sebagai wanita murahan karena hamil di luar pernikahan. Anak yang terlahir suci tanpa dosa harus menelan banyak hinaan serta cacian dari lingkungan sekitar. Dikucilkan dan menjadi bahan pergunjingan adalah bonus utama yang tak bisa dihindarkan, tapi hal itu harus diterima oleh seorang bayi mungil tanpa dosa? Adilkah? Jelas tidak. Yang berbuat zina adalah ayah serta ibunya, tapi kenapa harus dia yang menerima imbasnya?

Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah biologisnya adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima oleh anak hasil perzinaan. Tidak ada hak untuk saling mewarisi harta kekayaan, karena sudah sangat jelas bahwa nasab anak tersebut jatuh pada ibunya. Tidak berhak menggunakan bin atas nama ayah biologisnya, apalagi jika anak itu seorang perempuan. Tidak sah pernikahannya bila sang anak menggunakan nama sang ayah dan menjadikan ayahnya sebagai wali. Yang dirugikan di sini jelas adalah anaknya.

Aku sebagai sesama perempuan hanya ingin sekadar mengingatkan. Wahai para wanita yang memiliki mahkota rasa malu, wahai para pemegang kunci syahwat, peluang terjadinya zina ada di tangan kalian. Janganlah menjadi wanita murahan, yang mudah menyerahkan kunci itu. Kita semua yakin, zina tidak mungkin terjadi sepanjang kita tidak merelakan kunci itu jatuh ke tangan lelaki buaya. Mereka tidak akan berani merebut paksa kunci tersebut, sebelum kita menyerahkannya. Karena semua lelaki tidak ingin dicap sebagai pem****sa.

"Gue gak pantes bersanding sama lo. Gue ini pendosa sedangkan lo malaikat suci tanpa dosa. Lo berhak buat dapetin perempuan yang jauh lebih baik dari gue." Akhirnya aku bisa mengeluarkan kalimat itu.

Aku cukup tahu diri. Tidak ada ceritanya lelaki baik bersanding dengan wanita penuh dosa sepertiku.

"Setiap manusia pasti memiliki dosa, begitupula aku. Allah lebih menyukai pendosa yang bertaubat, dibandingkan dengan manusia yang berpura-pura taat, tapi pada kenyataannya dia tersesat. Murka Allah memang besar, tapi ampunan-Nya jauh lebih lapang."

Penuturan Arda sangat memukul telak kebatuan hatiku. Meluruhkan pertahananku, hingga tetesan bening tak terasa mengalir deras dari kedua sudut mataku. Luasnya lautan takkan pernah sepadan dengan dosa yang telah kulakukan. Bahkan tingginya langit takkan sanggup untuk menampung dosaku yang sudah sangat tak terhitung. Masihkah ada kesempatan untuk pendosa sepertiku menerima rahmat serta ampunan-Nya?

"Saat aku memutuskan untuk mengikat kamu dalam akad pernikahan, aku sudah berjanji di hadapan Allah dan kedua orang tua kita untuk mencintai, melindungi, menjaga, dan membimbing kamu. Aku selalu cerewet dan mengingatkan kamu tentang ini dan itu, semua itu aku lakukan karena aku sayang sama kamu. Aku gak mau kamu terjerumus pada dosa yang gak kamu sadari. Aku imam kamu, aku bertanggung jawab atas segala bentuk perbuatan yang kamu lakukan, baik yang terlihat atau yang gak terlihat sekalipun, baik yang kamu sadari ataupun gak sama sekali. Jangan pernah kamu merasa gak pantas untuk bersanding denganku, karena pada kenyataannya akulah yang selalu merasa seperti itu. Teman-teman pria kamu bukanlah tandingan yang pantas kujadikan saingan. Aku gak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka semua."

Aku semakin membatu penuh ketidakpercayaan. Pandanganku pun sudah sangat berkabut, karena air mata yang tak bisa lagi untuk kutahan. Kejujuran Arda begitu menyakitkan dan membuatku semakin dirundung rasa bersalah yang tak berkesudahan. Aku yang selalu memperlakukan dia dengan tidak baik. Tak pernah menghargainya sama sekali. Selalu menganggap dia lelaki kelas bawah yang tak pantas bersanding denganku. Terlalu banyak kesalahan yang telah kulakukan hingga aku sendiri malu untuk menjabarkan semuanya.

"Adara," panggilnya lembut, bahkan dia begitu berani menghapus linangan air mataku dengan kedua ibu jarinya.

"Kita perbaiki semuanya. Membuka lembaran baru dan melupakan semua kesalahan kita di masa lalu. Kamu mau kan?"

Aku hanya diam dan menatap kedua manik mata teduh miliknya. Lantas kembali menunduk dalam, untuk kali pertamanya aku merasa gugup bersama seorang pria. Dan pria itu adalah Arda.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang