59-Benarkah?

1K 132 21
                                    

"Kehadiran dia bisa sedikit mengobati kedukaan yang tengah kurasakan. Dia memang pandai menghiburku agar tak terlalu larut dalam kesedihan."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Sudah sekitar satu minggu berlalu tapi Arda tak kunjung menampakkan tanda-tanda kesadaran. Aku dibuat semakin waswas dan cemas, takut terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan. Terlebih lagi selama dua hari belakangan ini mimpi buruk selalu datang menyertai. Bayangan akan Arda yang berpamitan dan dikebumikan selalu memenuhi ingatan. Semua itu semakin kacau dan diperparah karena kondisi Arda yang tak menunjukkan perubahan siginifikan. Keadaannya stabil tapi tak ada perubahan sedikit pun.

Dengan telaten aku mengelap wajah serta tangannya dengan air hangat, kegiatan yang sudah sangat sering kulakukan di pagi hari seperti ini. Rasanya sudah sangat lelah dan aku tak sabar ingin segera melihat kedua netranya terbuka, bahkan tarikan di kedua sudut bibirnya pun sudah sangat kurindukan. Entah harus berapa lama lagi aku bersabar dalam ketidakpastian. Segala doa dan ikhtiar sudah dijalankan, tapi tetap saja tak membuahkan hasil sama sekali.

"Kapan sih, Mas kamu bangunnya? Gak kangen gitu sama aku?" ocehku sudah seperti orang tak waras. Setiap saat aku mendampinginya, aku pasti akan berceloteh apa pun padanya. Dan aku harus menelan kekecewaan karena tak ada respons apa pun yang dia berikan.

"Besok aku sidang, Mas. Katanya kamu mau antar-jemput aku ke kampus? Masa kamu ingkar janji sih, Mas," tuturku penuh kepiluan dan kegetiran. Entah apa yang terjadi esok hari. Apakah aku sanggup dan bisa melewati sidang skripsi di tengah kemelut hati yang sudah hancur tak berbentuk ini.

Aku merapikan bekas tempat air hangat dan juga lap kecil yang tadi kugunakan di bawah samping nakas. Kembali mendudukkan diriku di kursi samping bed yang Arda tempati. Menggenggam erat jari-jemarinya dan menatap sendu wajah pucat pasi yang dia tampilkan. Aku mengecup punggung tangannya penuh khidmat. "Jangan tinggalin aku, Mas...," lirihku menahan sesak di dada yang sudah mulai menyeruak ke permukaan.

"Katanya kamu akan menjaga dan melindungi aku, tapi buktinya sekarang kamu malah terbaring lemah di sini. Bangun, Mas."

Mau sebanyak apa pun kata dan tetesan air mata yang kukeluarkan sepertinya takkan pernah mampu dia dengar dan lihat. Bahkan mungkin apa yang saat ini kulakukan adalah sebuah kesia-siaan. Katanya orang koma akan mendengar dan merasakan apa yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya, tapi nyatanya itu salah besar. Buktinya Arda tak pernah merespons baik perkataanku. Bahkan dia seakan menutup mata dan telinga akan jeritan pilu yang kugaungkan.

"Adara ada temen kamu, Sayang," ucap Tante Annisa memberitahu. Aku dan beliaulah yang selalu stay di rumah sakit. Sedangkan Mamah dan Papah hanya sesekali saja datang kemari. Pekerjaan yang memaksa Papah untuk bersikap profesional. Dan Om Arga sedang sibuk mencari modal untuk menutupi biaya rumah sakit, padahal Papah sudah menawarkan bantuan dan akan menanggung semuanya. Tapi hal itu ditolak mentah-mentah oleh beliau. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran Om Arga yang begitu bersikukuh tak mau menerima bantuan Papah.

"Siapa Umi?" tanyaku dengan tungkai berjalan keluar dan segera melepas baju steril yang kugunakan.

"Aduh Umi lupa tanya namanya, tapi kalau gak salah itu calonnya Marwah, keponakan Umi," jawabnya lupa-lupa ingat.

Lukman. Hanya nama laki-laki itu yang kini bersarang dalam pikiran. Aku berjalan lebih dulu dan Tante Annisa mengintil di belakangku.

"Ada apa, Man?" selorohku saat sudah melihat lelaki bersetelan formal di depan ruang ICU.

Dia mengukir senyum tipis dan berjalan mendekat ke arahku. "Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Dar. Bisa minta waktunya sebentar?" tuturnya.

Aku terdiam sejenak dan melirik ke arah Tante Annisa meminta persetujuan. Beliau mengangguk dan memberikan senyum tulus penuh keikhlasan. "Umi tinggal yah," katanya sebelum beliau kembali masuk ke ruang perawatan Arda.

Aku duduk di samping Lukman yang berjarak sekitar dua kursi kosong. Aku tepat di kursi kiri paling pojok, dan dia di kursi kanan paling ujung. Dia melirikku sekilas lantas netranya menatap lurus pada kaca besar yang memperlihatkan Arda yang masih terbaring lemah di dalam ruang ICU.

"Aku turut berduka atas musibah yang kamu dan suami kamu alami. Maaf aku baru bisa jenguk sekarang," ucapnya membuka obrolan.

Aku mengangguk maklum. Aku tahu dia sangat segan dan takut untuk kembali menemuiku. Semenjak kejadian Mamah yang memergokiku dan dia tengah bersama, dia tak pernah lagi menjalin komunikasi denganku. Lagi pula dari kabar yang tersiar bahwa dia pun akan segera menggelar pernikahan dengan perempuan pilihan ibunya, yang bernama Marwah dan tak lain dan bukan anak dari adik Tante Annisa.

"Mungkin waktunya gak tepat, di saat kamu mendapat musibah aku malah ingin menggelar akad nikah," cetusnya dengan tangan menyodorkan sebuah undangan pernikahan berwarna silver bertuliskan namanya dan juga sang calon mempelai perempuan.

Di balik cadar yang kugunakan, aku mengukir senyum haru penuh kebahagiaan. Aku ikut senang jika dia sudah benar-benar mendapatkan pendamping hidupnya, dan kuharap kisahnya akan berjalan indah serta baik-baik saja.

"Alhamdulillah gue ikut seneng dengernya. Tapi maaf kalau semisal gue gak bisa datang di hari bahagia lo," sahutku masih dengan cara dan gaya bicara seperti dulu.

Rasanya ganjil jika aku menggunakan aku---kamu pada Lukman. Lebih baik lo---gue saja, toh di antara aku dan dia murni hanya sebuah pertemanan. Dan menurutku kata sapaan itu masih sopan, walaupun terdengar ganjil saat keluar dari bibir wanita bercadar sepertiku. Tapi tak apa, inilah aku yang tak ingin kembali membuat banyak drama. Cukup jadi Adara yang apa adanya.

"Gak papa, Dar suami kamu lebih membutuhkan kamu," katanya begitu bijak.

"Tahu dari mana kalau gue ada di sini?" tanyaku basa-basi dan ingin menghempaskan jauh-jauh rasa canggung yang tiba-tiba hadir.

Dia menarik kedua sudut bibirnya. "Meskipun kita sudah lost contact dan gak pernah bertemu, tapi aku masih setia mencari tahu apa pun tentang hidup kamu," ungkapnya yang kusambut dengan kekehan. Dia memang seorang mata-mata yang patut untuk diacungi jempol.

"Tetep gak ada perubahan. Inget bentar lagi lo married, gak etis kali kalau lo terus-terusan kepoin hidup gue," candaku yang dihadiahi tawa renyah darinya.

"Tenang saja calon istriku pengertian dan gak cemburuan. Kamu sudah seperti adikku sendiri, aku seperti berkewajiban untuk melindungi kamu." Perkataan yang Lukman lontarkan justru membuatku tak enak hati pada Marwah. Mau bagaimana pun aku dan dia sama-sama perempuan, dia pasti akan merasa sakit hati.

"Apa yang terjadi sampai Mas Arda harus dirawat di ICU, Dar?" tanyanya dengan intonasi suara serius.

"Katanya mata-mata kelas kakap, kok masih aja nanya sih," cibirku.

Lukman terkekeh pelan dan berucap, "Memangnya ada aturan tertulis kalau seorang mata-mata gak boleh bertanya?"

Aku mengangkat kedua bahu dan menggeleng sebagai jawaban. Kehadiran dia bisa sedikit mengobati kedukaan yang tengah kurasakan. Dia memang pandai menghiburku agar tak terlalu larut dalam kesedihan.

"Kamu masih ingat sama Andra?" tanyanya tiba-tiba. Tak ada angin tak ada hujan kenapa dia membahas mantan teman pria yang dulu pernah menurunkanku di pinggir jalan.

"Kenapa emangnya?" Aku malah kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

Dia menatap kedua iris mataku dengan begitu lekat dan penuh keseriusan. "Kecelakaan yang kamu dan Mas Arda alami ada sangkut pautnya sama dia," cetus Lukman penuh kesungguhan.

~TBC~


Ada yang tahu siapa Andra?
Lanjut besok yah, tahan dulu keponya, soalnya kalau dijadikan satu takut kepanjangan dan kalian bosan😊

Terima kasih sudah membaca dan sampai bertemu di bab selanjutnya 🙋

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang