17-Mulai Bimbang

1.3K 180 5
                                    

"Sifat dan sikapmu yang selalu di luar dugaan dan perkiraan. Selalu berhasil membuatku bingung tak keruan."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebelumnya, sepulang aku dari kampus Arda akan menjemput dan membawaku pergi ke rumah Papah dan Mamah. Aku sengaja menyuruh dia untuk menunggu saja di depan gerbang, bisa bahaya jika teman-temanku melihat aku dijemput cowok modelan Arda. Rasa malu dan gengsiku memang terlampau tinggi.

Langkahku melambat saat melihat Arda yang sedang berbincang-bincang penuh keseriusan bersama dengan seseorang. Mataku memicing untuk mengetahui siapa gerangan orang yang berdiri membelakangiku itu. Postur tubuhnya tidaklah asing bahkan sangat familiar. Aku tersentak kaget dan segera mempercepat laju tungkaiku saat menyadari bahwa Lukmanlah orang yang bersama Arda.

Sepanjang jalan yang hanya sekitar sepuluh langkah lagi itu aku menggerutu menyadari keteledoranku yang lupa memberi kabar pada Lukman agar tak usah menjemputku pulang. Aku takut mereka berdua terlibat adu pukul-pukulan. Aku belum siap jika sampai Lukman pergi karena aku yang belum bisa berkata yang sesungguhnya perihal statusku saat ini. Napasku tersengal-senggal karena berjalan terlalu cepat. Fokus mereka langsung teralihkan padaku karena suara ngos-ngosan yang kutimbulkan.

"Kamu kenapa?" todong Lukman yang lebih dulu membuka suara.

Aku menggeleng cepat dan menjawab, "Gak papa. Kalian lagi ngapain berduaan di sini?" Sorot mataku menyelidik ke arah Arda yang justru diam saja tanpa kata.

"Oh itu, hanya sekadar obrolan biasa." Bukan jawaban seperti itu yang ingin kudengar keluar dari mulut Lukman. Pasti ada sesuatu yang mereka bahas hingga membuat wajah suram masam Arda terlihat jelas.

"Mbak ojol-nya di-cancel saja calon suaminya sudah datang menjemput." Arda yang sedari tadi bungkam akhirnya angkat bicara.

Kalimat yang dia ungkapkan sungguh berhasil membuat sesuatu dalam dadaku berdenyut ngilu. Di depan Lukman dia berusaha untuk berkata dusta, padahal aku dan dia sama-sama tahu kalau baik aku maupun dia tidaklah suka mengutarakan kebohongan. Tapi memang sudah seharusnya seperti itu pernikahan ini ada karena sebuah keterpaksaan dan sandiwara memang sangat diperlukan.

"Ada angin apa kamu pesan ojeg online segala, Dar? Gak kaya biasanya." Pertanyaan itu bersumber dari Lukman.

Aku bingung harus menjawab apa. Perkataan Arda ternyata menjebakku. Aku tak ingin berbohong, tapi aku juga bingung harus menyembunyikan kebenaran ini dengan cara seperti apa. Kepalaku mendadak blank dan tak bisa berpikir dengan jernih.

Tanpa sepatah kata pun Arda menjalankan motor matic-nya hingga menjauh dan menghilang dari pandangan. Bukankah ini yang selalu kuinginkan? Melukai hatinya agar dia dengan cepat mengakhiri hubungan tak sehat ini. Tapi kenapa saat ini lain? Aku merasa menjadi wanita paling kejam di dunia.

Dua sisi dalam diriku saling bergejolak. Ada yang mendukung tapi ada juga yang menyalahkan tindakanku yang tak tahu aturan. Ah, kepalaku rasanya sangat pusing dan mau pecah memikirkan masalah hidup yang tak kunjung usai ini.

"Kok kamu pucat sih? Sakit?" seloroh Lukman. Aku bisa mendengar nada khawatir penuh perhatian di sana.

Aku tak berminat untuk menjawabnya, hanya melirik dia sekilas. Dia yang mengerti aku dalam mode 'tidak baik' dengan cepat membukakan pintu mobil.

"Anterin ke rumah Bokap sama Nyokap gue," kataku dengan pandangan yang lurus ke samping jalanan.

Perasaanku mendadak tak enak seperti ini. Sebagian hatiku bersorak tak suka akan tindakanku yang lebih memilih pergi bersama Lukman, tapi sebagiannya lagi setuju dan mendukungku. Kenapa selalu ada dua sisi yang berlainan? Tidak bisakah mereka akur dan satu pemikiran.

"Lho kok gak ke rumah baru kamu? Sudah pindah lagi?" Dari sudut mata aku melihat Lukman melirik ke arahku sesekali.

Aku mengatakan bahwa rumah yang saat ini kutempati bersama Arda adalah rumah pribadi yang sengaja dibelikan oleh kedua orang tuaku. Aku tidak bermaksud untuk membohongi Lukman, tapi itu memang benar adanya. Mamah dan Papah yang membelikan rumah itu untukku, jadi tidak ada salahnya bukan dengan apa sudah kukatakan? Toh selama ini juga dia tidak pernah bertanya dengan siapa aku tinggal.

"Ada urusan. Turunin gue di depan pos satpam gerbang kompleks aja jangan sampe rumah," ucapku yang dibalas anggukan singkat olehnya.

Beruntung Lukman bukanlah tipe orang yang memiliki kadar kekepoan tinggi dengan urusan orang lain. Jadi aku tak usah repot-repot memikirkan sejumlah alasan.

Tak lama mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan gerbang kompleks. "Gak usah dibukain, gue bisa sendiri." Untuk yang pertama kalinya aku membuka pintu mobil seorang sendiri. Lukman menatapku penuh tanya, aku hanya bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja.

Aku berjalan lunglai tak bertenaga. Suasana hatiku mendadak kacau balau tak tahu aturan. Suara klakson yang berasal dari arah belakang berhasil membuatku kaget bukan kepalang. Akan kumaki-maki siapa saja pengemudi yang berani menggangguku saat ini. Kepalaku pusing dan sedikit berkunang-kunang saat mendapati Ardalah biang keroknya.

"Ayo naik buruan, aku gak mau Mamah sama Papah tahu kalau kita ke sini gak barengan. Makanya aku tungguin kamu di sini," ungkapnya dengan santai dan juga sebuah senyuman seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Aku hanya bisa menurut saja tanpa banyak bicara. Aku tak mengerti dengan jalan pikirannya. Tadi dia seperti marah sampai-sampai meninggalkanku begitu saja, tapi sekarang dia bersikap seperti biasa saja.

Mamah dan Papah menyambut kedatanganku dan Arda dengan sukacita. Selepas mengucapkan salam dan mencium punggung tangan mereka, kita berdua dipersilakan masuk ke dalam. Aku berjalan di belakang bersama Mamah yang merangkul bahuku penuh kehangatan. Aku sangat merindukan pelukan beliau yang memabukkan ini.

"Kamu sakit, Sayang? Muka kamu pucat banget lho ini. Sudah periksa ke dokter belum? Siapa tahu saja kamu isi," cerocos Mamah yang justru menambah keruwetan pikiranku.

Bisakah tidak membahas ini dulu? Rasanya kepalaku semakin pusing dan mau pecah. Aku itu bukan pucat karena sakit tapi puyeng karena banyak pikiran.

"Iya, Mah isi. Isi nasi sebakul." Aku menjawab dengan asal-asalan. Mamah tertawa renyah dan mencubit pipiku pelan.

"Mamah kira kamu datang ke sini sekalian kasih kabar membahagiakan," ucapnya dengan nada suara sedikit kecewa.

"Kepala Adara pusing, Adara naik ke atas dulu." Aku berjalan cepat menuju kamarku tanpa mendengar persetujuan mereka terlebih dahulu. Bisa semakin panjang kalau aku tak segera pergi.

Samar-samar aku mendengar ucapan Papah yang berujar, "Wah kayanya Adara lagi ngidam tuh. Persis sama kaya Mamahnya dulu pas lagi hamil dia."

Perkataan Papah justru semakin menambah kadar tidak enak hatiku pada Arda. Ada apa denganku? Aku bukanlah tipe orang yang begitu peduli akan perasaan orang lain. Cenderung bodo amatan, tapi entah kenapa saat ini beda dan hati kecilku merasa sedikit iba dengan kemalangan nasib dia. Ish, sepertinya otakku sudah mulai konslet dan harus segera diperbaharui.

Aku mendengar jawaban Arda dengan suara yang sedikit bergetar. "Ya, semoga saja memang benar begitu, Pah." Aku tak kuat lagi jika harus mendengar obrolan Papah dan Arda yang kian menambah rasa bersalahku pada lelaki itu.

Lelaki seperti apa sebenarnya dia? Dia masih bisa memperlakukanku secara baik, tanpa pernah mengungkit sudah berapa banyak kesakitan dan hinaan yang kulayangkan padanya. Entah Arda yang memang terlalu baik atau aku yang tak tahu diuntung menerima kebaikannya yang tak terhitung.

Arda pasti berpikiran yang tidak-tidak karena ucapan Papah barusan. Fakta itu seakan diperkuat oleh kehadiran pria lain yang selalu setia menemaniku ke mana pun aku pergi. Aku yakin Arda menganggap serius perkataan Papah, tapi tak apa dengan begitu Arda pasti akan mundur teratur tanpa mau lagi mempertahankan hubungan tak jelas ini.

Mana ada suami yang mau menerima istrinya dalam keadaan mengandung anak dari pria lain? Kurasa tidak ada. Dan aku harus mengucapkan terima kasih pada Papah karena perkataannya yang secara tidak langsung mempercepat proses perpisahan yang sudah sangat aku nanti-nantikan.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang