53-Mulai Ada Rasa

1.2K 146 6
                                    

"Bagiku dia anugerah tapi bisa jadi baginya aku ini musibah."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Aku pulang ke rumah dengan wajah tertekuk kesal. Bagaimana tidak? Mamah dan Arda bersekongkol membuatku dongkol. Sepanjang perbincangan mereka tak henti-henti menyinggung perihal momongan dan keturunan. Seperti tak ada topik lain lagi saja. Aku sangat kesal dan muak dibuatnya. Tapi mereka malah semakin gencar dan membuatku naik pitam. Kalau tidak ingat dengan rasa hormat, mungkin aku sudah ngamuk dan mencakar wajah menyebalkan mereka.

"Jelek kamu kalau pasang tampang kaya gitu," cetus Arda saat kami baru saja memasuki kamar. Aku hanya melirik sengit ke arahnya. Aku takkan termakan bujuk rayu setan darinya.

"Tadi bercanda, Adara. Jangan terlalu dianggap serius dong," bujuknya dengan tangan sibuk melepaskan alat penunjuk waktu berwarna hitam buluk yang terpasang di pergelangan tangan sebelah kiri.

"Gak lucu tahu, Mas!" sengitku yang menimbulkan helaan napas panjang darinya.

"Iya ... iya ... iya ... Maaf deh," ucapnya setelah berhasil mendaratkan tubuh tepat di sampingku yang kini tengah duduk bersila di atas ranjang. Aku hanya diam tak ada niat sedikit pun untuk menjawab. Masih kesal.

Aku bangkit dari dudukku dan melangkah keluar meninggalkan dia seorang diri di kamar. Lebih baik aku menyiapkan makan malam daripada harus terlibat perbincangan unfaedah bersama dengannya. Tanganku dengan lincah mengambil berbagai macam bahan masakan dalam kulkas, dan segera meramunya menjadi makanan yang layak konsumsi. Jika aku sedang kesal maka memasak adalah cara terampuh sebagai alat pelampiasan.

Namun baru setengah jalan aku memasak, kegiatanku sudah kembali diusik karena ulah tangan Arda yang lagi-lagi merengkuh pinggangku dengan begitu lembutnya. Seketika aku langsung hilang fokus dan konsentrasi, terlebih lagi kini dagunya sudah menempel apik pada sebelah pundakku. Semenjak hubungan kami mulai membaik, entah mengapa dia menjadi lebih agresif dan tak pernah sungkan melakukan kontak fisik. Walau hanya sebatas sebuah rengkuhan tapi jujur itu membuat keringat dingin saling bercucuran. Aku belum terbiasa.

"Lepas, Mas!" pintaku tegas. Dia tak bergerak sedikit pun dan malah berbisik tepat di samping telingaku, "Maafin aku dulu, baru nanti aku lepas."

Aku menghela napas frustrasi dan akhirnya anggukan kecil kuberikan sebagai jawaban. Kukira dia akan segera menyingkir, tapi tahunya dia malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Mas!"

"Apa salah kalau aku menginginkan keturunan dari kamu? Apa kamu masih belum bisa menerima aku dalam hidup kamu?" tanyanya dengan suara rendah.

Dengan berat hati aku mematikan kompor lantas dengan susah payah membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya. Sebuah sunggingan tipis kutampilkan, bahkan aku pun dengan tak tahu dirinya menggenggam lembut kedua tangan Arda. "Gak ada yang salah, tapi aku gak nyaman saat secara terang-terangan kamu jadikan aku sebagai bahan candaan. Aku tahu niat kamu dan Mamah cuma untuk menggoda aku, tapi please jangan jadikan momongan sebagai bahan lelucon kalian. Aku gak suka, Mas!"

"Maaf," katanya dengan pandangan mata penuh penyesalan. Dia membawa tubuhku dalam dekapannya dan berkali-kali menggaungkan kata maaf, aku hanya mengangguk dan membalas rengkuhan yang dia berikan.

"Jangan pernah kamu berpikir bahwa aku belum bisa benar-benar menerima kamu sebagai suami, karena pada saat aku memutuskan untuk kembali mengulang pernikahan kita, aku sudah memantapkan hati bahwa kamulah jodoh terbaik yang Allah siapkan untukku. Insya Allah aku ikhlas dan ridho," imbuhku dengan kedua sudut bibir yang terangkat.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang