2-Arda Nazma Dewanda

3.3K 338 48
                                    

"Ambil hati orang tuanya, lalu setelah itu biarkan tangan Allah yang bekerja."

-Arda Nazma Dewanda-

•••

Arda Nazma Dewanda, lelaki menyebalkan yang tak punya urat malu. Itulah kesan pertama saat aku bertemu pandang dengannya. Pertemuan singkat yang kukira takkan berbuntut panjang, namun pada kenyataannya dia justru selalu datang merecoki kehidupan. Terhitung sudah sekitar tiga tahun lebih aku mengenalnya, mungkin sudah mau memasuki tahun keempat.

Dia itu pribadi yang sederhana dan tidak neko-neko sepertiku. Latar belakang keluarganya yang memang bukan dari kalangan atas membuat dia seperti itu. Apa adanya dan tidak banyak gaya. Awalnya aku simpatik karena dia sudah menolongku dari kekejaman penjambret. Tapi hal itu tak berlangsung lama karena sifat aslinya yang begitu menyebalkan.

Aku masih sangat mengingat detail kejadiannya. Pada saat itu aku pulang sekolah, kebetulan pak sopir telat datang karena ban mobil yang bocor di tengah jalan. Karena aku bosan menunggu di pos satpam akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalanan. Namun di tengah perjalanan ada segerombolan preman bertato dan berambut gondrong yang mengincar. Aku memegang erat ponsel dan juga tali tas punggung yang kukenakan. Dalam hati aku berdoa agar pak sopir segera datang menjemput.

Langkahku dihentikan paksa oleh dua orang seram itu. Mereka mencoba untuk memegang dagu serta tanganku. Tapi dengan kasar aku menolak sentuhan tangan kotor mereka. Tidak ada satu pun pria asing yang berani berlaku tidak sopan seperti itu. Dan aku merasa dilecehkan atas tindakan bejat mereka.

"Jangan pegang-pegang! Ambil nih." Dengan sukarela aku menyerahkan ponsel dan juga tas yang berisi buku pelajaran, alat tulis, serta dompet yang terdapat berlembar-lembar uang berwarna merah, beberapa kartu ATM dan juga kartu tanda pengenal.

Tapi yang mereka lakukan justru melempar barang-barang yang telah kuserahkan. Salah satu di antara mereka berkata, "Bagaimana kalau kita sedikit bermain-main, Cantik?"

Rasanya aku ingin memotong lidah kotornya pada saat itu juga. Dasar tua bangka tak tahu diri! Anak SMA sepertiku saja mau mereka embat. Apa mereka tidak memiliki anak gadis hingga berlaku kurang ajar seperti itu?

Mereka berdua berusaha mencekal tanganku namun selalu gagal karena aku berhasil menghidar. Berusaha dengan secepat mungkin untuk melarikan diri dari mereka, tapi nasib baik sedang tak berpihak padaku. Sebuah motor matic berwarna hitam hampir saja mengenai tubuhku. Beruntung laju kendaraan beroda dua itu tidak terlalu kencang dan hanya membuatku tersungkur ke aspal, yang mengakibatkan lutut serta sikutku sedikit lecet-lecet.

"Kamu gak papa?" tanyanya basa-basi dan berusaha membantuku berdiri tapi dengan cepat aku menepisnya. "Gue bisa sendiri." Pengendara sepeda motor itu mundur teratur.

"Woy jangan lari lo!" Teriakan dari arah belakang membuatku kembali tersadar. Dengan langkah tertatih aku bersembunyi di balik punggung pengemudi motor yang hampir menabrakku.

Dengan penuh keraguan aku menggapai kerah jaket yang lelaki itu gunakan. "Tolongin gue!"

"Jangan pegang-pegang bukan mahram," katanya seraya menggerak-gerakkan tubuh memberi kode agar aku segera menyingkir.

Aku mendengus tak suka mendengar perkataan pria itu. "Lagian gue juga ogah jadi mahram lo!" cetusku dengan nada judes bercampur kesal dan segera melepas cengkeraman kuat di kerah jaketnya.

"Mundur," titahnya saat dua orang preman yang tadi mengejarku sudah berada tepat di depan kita.

Aku menurut saja. Dan setelahnya terjadi adu jotos di antara mereka bertiga. Aku hanya menonton tanpa ada niat untuk membantu. Tidak ada sejarahnya seorang Adara Mikhayla Siregar bermain kasar dan pukul-pukulan dengan preman, kalau sama cowok mata keranjang yang bisanya nyakitin hati perempuan dengan sigap aku langsung pasang kuda-kuda untuk melawan. Meskipun sebenarnya aku tak jago dalam hal adu jotos-jotosan.

Aku melongo melihat dua penjahat itu tepar di atas trotoar. Lelaki bertubuh kurus kering serta berkulit sawo matang khas orang Asia itu membasmi habis mereka. Makan apa tuh orang sampai bisa mengalahkan para berandalan tua kurang ajar. Sepertinya dia itu titisan Popay. Sejenak aku mengagumi kemampuannya tapi dengan cepat aku menghilangkan pikiran dangkalku tersebut. 

"Makanya kalau sekolah tuh pake seragam yang bener, bukan malah pake baju kekurangan bahan begitu." Awalnya aku ingin mengucapkan terima kasih tapi setelah mendapatkan sindiran pedasnya niat baik itu langsung kuurungkan.

"Kalau gak niat buat nolongin gak usah!" amukku tak terima. Seragam yang kupakai masih wajar, bahkan lebih sopan jika dibandingkan dengan teman-teman sekolahku yang lain. Rok abu-abu dengan tinggi selutut dan juga baju atasan yang memang agak sedikit ketat. Ya tapi itu masih wajar.

Terlihat dia menyeka cairan merah kental yang keluar dari sudut bibir. Wajahnya terdapat cukup banyak memar akibat pukulan dari dua orang preman tadi. "Rumah kamu di mana? Biar aku antar pulang," katanya yang membuatku sedikit kaget sekaligus bingung.

Tuh orang maunya apa sih? Tadi saja nyinyirin aku tapi sekarang justru mau mengantarkanku pulang. Dasar aneh.

Semenjak kejadian itu dia selalu rutin datang ke rumah menemui Mamah dan juga Papah. Alasan yang dia berikan sungguh klasik serta pasaran 'ingin menjalin silaturahmi'. Tapi aku tak percaya dia pasti hanya modus saja. Bukan maksud untuk percaya diri, tapi dari gurak-gerik dan tingkahnya satu tahun belakangan membuatku berpikiran hal yang demikian. Tapi itu masih sekadar dugaan.

Menyogok Mamah dengan kue bolu yang berasal dari toko ibunya dan sesekali memberikanku bunga. Tapi dengan gamblang aku mengatakan, "Gue gak suka bunga mawar. Sukanya bunga bank."

Kukira dia akan menyerah dan takkan mendeketiku lagi. Tapi dugaanku salah besar, dia justru semakin gencar mengambil hati Mamah dan juga Papah hingga membuat kedua orang tuaku suka padanya. Padahal aku sudah sangat terang-terangan menolaknya tapi karena emang dasar urat malunya sudah putus. Makanya tak mempan dengan penolakan yang kuberikan.

"Kalau mau bunga bank harus mau aku halalin," balasnya yang membuat bulu kudukku meremang.

Siapa dia sampai berani berkata seperti itu? Pria berkelas dengan tampang rupawan serta dompet tebal saja kutolak mentah-mentah. Lalu apa kabar dengan dia yang hanya remahan rengginang saja. Ngaca!

Sebenarnya dia itu cowok modelan anak masjid. Kerjaannya nongkrong sama ustaz-ustaz tapi tak tahu kenapa dia terkesan seperti mencari perhatianku yang jauh dari kata wanita shalihah. Padahal kalau dipikir-pikir perempuan masjid dengan baju kurung serta khimar lebar lebih cocok bersanding dengannya. Kalau denganku jelas tak ada cocok-cocoknya.

Tak kebayang kalau sampai dia menjadi suamiku. Bisa capek hati dan pikiran. Melakukan salat wajib tepat waktu tanpa cacat dan bolong, bangun tengah malam hanya untuk salat saja, terus lagi puasa sunnah yang akan membuatku kurus kerempeng sama sepertinya. Terlalu ekstream kalau sampai hal itu terjadi. Dan kuharap itu takkan pernah kualami!

Ish, kenapa aku malah memikirkan dia sih. Kurang kerjaan sekali. Dengan cepat aku langsung membenamkan wajah di atas bantal. Menghilangkan bayangan lelaki menyebalkan itu dari pikiran.

~TBC~

Bagaimana dengan bab 2-nya? Kira-kira ada yang nunggu kelanjutannya gak yah🤔

Lanjut???

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang