58-Belum Kunjung Sadarkan Diri

1.2K 135 12
                                    

"Aku benci dengan diriku yang lemah dan gampang mengobral tangis di tengah rasa sakit."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Kullu nafsin zaaa'iqotul mauut. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Sejatinya setiap makhluk yang ada di bumi ini pasti akan merasakan mati, dan itu adalah sebuah ketetapan yang takkan mampu diingkari serta dihindari. Tak ada satu pun manusia yang mengetahui kapan Allah akan merenggut nyawanya dan menarik segala kenikmatan dunia yang melalaikan ini. Mempersiapkan dengan sebaik mungkin adalah cara menghadapinya.

Mati? Sungguh aku tak ada modal apa pun untuk menyambutnya. Bahkan kedatangannya sangat tak ingin kujumpai. Hal yang teramat mengerikan dan menakutkan, serta meninggalkan jejak kesakitan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Aku tak ingin dia pergi meninggalkanku dalam waktu secepat ini. Tidak, aku takkan bisa ikhlas untuk melepasnya. Aku yang seharusnya terbaring lemah tak berdaya di atas brankar sana, dan seharusnya aku yang bertaruh hidup dan mati di sana. Bukan dia, bukan imamku.

Aku tak habis pikir dengan apa yang beberapa jam lalu kualami. Kecelakaan yang merenggut calon buah hati dan juga suamiku yang kini masih belum kunjung sadarkan diri. Entah harus berapa lama lagi dia bergelung dengan tidur panjangnya. Aku takut, sungguh sangat takut kehilangannya. Terlebih lagi diagnosa dokter mengatakan bahwa dia mengalami cedera otak berat yang mengakibatkan fungsi otaknya terganggu. Kemungkinan sadar dan kembali menghirup udara segar tak dapat diprediksikan. Semuanya tergantung pada kondisi pasien, serta mukjizat dari-Nya.

Arda dirawat di ruang ICU dan memerlukan perawatan khusus dari para tenaga medis. Bahkan aku pun tak diperbolehkan berlama-lama berdiam diri di sana, ruangannya harus benar-benar steril. Setiap kali menjenguknya aku harus mengenakan pakaian steril yang dilengkapi dengan masker. Keadaannya jauh dari kata baik dan memerlukan penanganan ekstra. Aku saja merasa iba dengan segala jenis pelataran medis yang kini terpasang hampir di seluruh tubuhnya. Hanya alat-alat itu yang menopang dan membuatnya bertahan.

Jika saja aku boleh meminta, aku akan dengan lapang dada menggantikan posisinya. Biarkan aku saja yang tidur terlelap di sana, aku lebih layak berada di sana. Aku penyebab kecelakaan itu terjadi, dan aku yang memang sudah seharusnya berada di sana. Bayangan akan kecelakaan itu kian berkeliaran dalam pikiran, terlebih pada saat melihat wajah pucat Arda yang terlihat damai dalam tidur panjangnya.

Sekitar satu jam lalu aku mendapat kabar bahwa penyebab kecelakaan itu karena rem motor Arda yang blong. Aku bodoh karena tak menyadari hal itu, dan tanpa dosa aku malah mengikuti titah Arda untuk menggunakan penutup kepala miliknya. Andaikan penutup kepala itu tak terlepas dari kepalanya mungkin keadaan Arda tak separah ini. Rasanya aku ingin memaki diriku sendiri yang tak peka dan tak mampu menangkap sinyal darurat yang diberikannya.

Dalam keadaan panik serta genting dia masih memikirkan keselamatanku, bahkan dia masih berusaha untuk melindungiku. Dia mencoba menenangkanku, padahal pada saat itu nyawa kami berdua sedang sama-sama di ujung tanduk. Dia ceroboh karena mementingkan keselamatanku dibandingkan dengan keselamatannya sendiri.

"Kenapa kamu harus melakukan ini, Mas? Kenapa gak bilang dari awal kalau rem motor kamu blong? Mungkin aku gak akan pernah mau untuk melepas pelindung kepala kamu." Dengan terisak aku menggenggam tangannya yang terasa dingin tak bertenaga.

Andaikan aku tahu itu sejak awal, aku pasti akan memilih untuk tidak mengenakannya. Jika pun kecelakaan itu merenggut nyawa kami berdua, tak apa karena mungkin itu memang sudah menjadi suratan takdir-Nya. Bukan malah seperti sekarang. Aku selamat walau harus kehilangan bagian dari diriku, dan beberapa luka ringan di beberapa bagian tubuhku. Tapi lihatlah kondisi Arda sekarang? Dia jauh dari kata baik dan selamat. Bahkan aku tak tahu kapan kedua netra teduhnya akan kembali terbuka.

"Buka helm aku terus pake sama kamu." Kalimat itu terngiang-ngiang dalam ingatan. Seharusnya aku paham bahwa itu tanda bahaya yang dia berikan. Bukan malah mengikuti titahnya begitu saja.

"Kamu jangan khawatir. Pegangan saja yang kuat sama aku." Setiap kalimat yang dia ucapkan tak pernah absen berkeliaran dalam pikiran. Bagimana dia berkata dengan intonasi tenang, bahkan berusaha untuk melindungiku dari ancaman maut.

"Jangan ngebut-ngebut, Mas aku takut." Ini adalah kalimat terkonyol dan terbodoh yang pernah kuucapkan. Seharusnya aku tahu bahwa itu bukanlah ulah Arda yang memacu tinggi kecepatan kendaraan beroda duanya. Tapi itu karena ....

"Gak papa, kamu tenang yah," ucapnya dengan tangan kiri mengelus lembut kedua tanganku yang masih melingkari tubuhnya.

Mengingatnya sama saja seperti membongkar luka lama yang teramat menyakitkan. Masih sangat terdengar dengan jelas bagaimana kendaraan besar bermuatan pasir itu menghantam motor Arda dengan sangat brutal. Suara decitan ban yang beradu dengan aspal serta hantaman kasar dari dua kendaraan yang menimbulkan suara mengerikan. Jeritan histeris serta darah segar yang saling bercucuran hingga kegelapan yang menghancurkan semuanya.

Kepalaku pusing bukan main saat mengingat detail jelas kejadiannya. Semua itu seakan tumpang tindih dan tak ingin enyah dalam ingatan. Semakin aku mengingatnya maka semakin besar pula rasa bersalah yang kini bersarang. Kata andai tak pernah absen memutari kepala, dan sayangnya itu takkan pernah mengubah semuanya. Lagi-lagi mataku tak pernah lelah mengalirkan cairannya. Aku benci dengan diriku yang lemah dan gampang mengobral tangis di tengah rasa sakit.

"Adara makan dulu yuk, Sayang. Dari tadi siang kamu belum makan apa-apa, kan?" Itu adalah suara Tante Annisa yang baru saja memasuki ruangan tempat di mana Arda dirawat.

"Adara gak lapar, Umi," tolakku. Tak ada sedikit pun selera untuk menyantap makanan. Yang kubutuhkan bukanlah asupan makanan, tapi kesembuhan suamiku. Hanya itu.

"Lapar apa doyan? Sampai kuah sotonya nyiprat-nyiprat ke cadar. Pelan-pelan saja kali, gak akan ada yang serobot jatah kamu juga," ledeknya saat aku tengah menikmati semangkuk soto yang rasanya begitu enak dan menggiurkan.

Aku mengambil tissue dan menghapus cipratannya di cadar. "Bukannya dielapin atau apa gitu. Ini malah ngeledek, emang yah kamu itu gak ada romantis-romantisnya," kataku setelah membuang bekas tissue yang barusan kugunakan ke tempat sampah.

Aku tersenyum kecut saat bayangan itu tiba-tiba hadir tanpa permisi. Rasanya dadaku sesak bukan main saat mengingat bagaimana dia makan dan menikmati semangkuk soto pinggir jalan. Kesederhanaan yang terkadang membuatku jengkel serta kesal kini teramat sangat kurindukan.

"Umi tahu kamu mengkhawatirkan keadaan suami kamu, tapi kamu harus ingat bahwa kamu pun harus menjaga kesehatan kamu. Kalau kamu sakit siapa yang akan menjaga putra Umi?" bujuknya dengan tangan mengelus puncak kepalaku.

"Kalau Adara pergi siapa yang jagain, Mas Arda? Adara mau jadi orang pertama yang Mas Arda lihat saat dia membuka kedua matanya," tuturku sembari memainkan jari di sekitar wajahnya yang masih terlelap nyaman.

"Kan ada dokter sama suster, Sayang. Makan dulu yah," pintanya penuh kelemah-lembutan.

Aku hanya mengangguk saja. Tak enak juga jika harus kembali menolak kebaikan beliau. "Mas aku pamit dulu yah, kalau mau bangun bilang-bilang dulu," kataku dengan diiringi sebuah sunggingan tipis.

Tante Annisa mengecup lembut puncak kepalaku. "Insya Allah secepatnya Arda akan kembali pulih, Sayang," ucapnya yang langsung kuaminkan.

~TBC~

Maaf ni yah kalau update-nya kepagian, gak papa kan? Berhubung banyak yang minta double update jadi Insya Allah mulai hari ini aku akan double update yah, hehe. Jadwalnya pagi sama malem. Kalau jammya suka-suka aku karena kan harus diketik dulu.

Okelah sampai ketemu nanti malam yah, doakan semoga proses pengetikannya lancar😊

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang