18-Sandiwara

1.4K 183 0
                                    

"Penilaian orang lain tidaklah penting dan takkan berpengaruh apa-apa pada hidupku."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Aku dan Arda diminta untuk menginap satu malam di rumah Papah dan Mamah, katanya ada yang ingin mereka bicarakan padaku dan juga Arda. Tapi sampai sore tiba kedua orang tuaku belum kunjung mengutarakan maksud dan tujuannya. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar menggema ke indra pendengaran. Sepasang suami istri yang tidak lain adalah kedua orang tua Arda terlihat berjalan menghampiri kami yang sedang menunggu di ruang tengah.

Kami saling bersalaman dan berjabat tangan. Tante Annisa mendaratkan kecupan hangatnya di kedua pipiku. "Apa kabar mantu? Arda gak buat kamu susah, kan? Kalau sampai dia nyakitin kamu bilang sama Umi. Biar Umi jewer kupingnya."

Aku meringis mendengarnya. Bukan Arda yang menjadi tokoh antagonisnya, melainkan aku sendiri yang sudah sangat sering melukai hati dan perasaannya. Aku yang seharusnya Tante Annisa jewer dan marahi, atau kalau perlu caci-maki saja aku sekalian.

"Ba... baik... Tan...," jawabku gugup dan canggung. Tante Annisa tersenyum dan menangkup wajahku gemas.

Mendadak aku merasa segan untuk berbincang-bincang dengan beliau. Padahal biasanya juga tidak seperti ini.

"Kok Tante sih? Umi dong," katanya meluruskan.

Aku menggeleng pelan. "Maaf, Tan Adara belum terbiasa," sahutku dengan suara tercekat.

Tante Annisa menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berucap, "Harus dibiasakan dong, Sayang."

Aku hanya bisa menjawab seadanya, "Akan Adara usahakan, Tan." Beliau tertawa ringan.

"Baru juga diingatkan sudah lupa lagi kamu," celotehnya yang disambut gelak tawa oleh seisi penghuni rumah. Apanya yang lucu?

Aku duduk berdampingan dengan Arda, Mamah dan Tante Annisa berada di sofa depanku, sedangkan Papah dan Om Arga masing-masing duduk di kepala sofa.

"Berhubung sudah kumpul semua, baik kita mulai saja acaranya," ucap Papah membuka pembicaraan.

Aku hanya menyimak tanpa minat. Arda juga sedari tadi mendiamkanku. Apa mungkin dia masih memikirkan perkataan Papah tadi siang? Atau justru memikirkan pertemuannya dengan Lukman?

Serah dialah mau berpikiran apa pun juga. Yang jelas aku tidak seperti yang dia pikirkan. Penilaian orang lain tidaklah penting dan takkan berpengaruh pada hidupku.

"Nak Arda, Adara kami semua sudah mempersiapkan acara resepsi pernikahan kalian yang akan digelar sekitar akhir bulan depan. Semuanya sudah selesai dan kalian hanya perlu melakukan fitting baju pengantin saja," tutur Papah yang berhasil menarik perhatianku. Aku mendongak dengan pandangan terkejut.

Pesta pernikahan diadakan dengan tujuan untuk saling berbagi kebahagiaan, bukan malah sebaliknya seperti yang menimpa rumah tanggaku sekarang. Apa yang harus dirayakan dari sebuah pernikahan penuh sandiwara dan drama ini? Tidak ada kata berbagi bahagia. Yang ada hanyalah saling berbagi luka dan penderitaan.

"Bagaimana kalau gak usah ada pesta saja, Pah?" Kalimat itu keluar lancar dari bibir Arda.

Aku tahu dia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Lihat saja wajahnya yang sedari tadi ditekuk tak enak dipandang. Tampang sudah pas-pasan dan sok pasang raut wajah seperti itu. Rasanya aku ingin membungkus muka dia dengan karung sekarang juga.

"Tidak bisa seperti itu, Arda. Semuanya sudah dipersiapkan secara matang, tidak bisa di cancel begitu saja," sahut Om Arga penuh ketegasan.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang