29-Ingin Mengakhiri Semuanya

1.3K 156 3
                                    

"Daripada harus bertahan dengan dia yang sangat jauh dari harapan, dan tak bisa diandalkan. Lebih baik kena omel Mamah dan Papah yang mungkin hanya sesaat saja."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Terlalu muak dengan masalah hidup yang tak kunjung usai membuat pikiranku dangkal. Rasanya sudah tidak sanggup jika hidupku selalu penuh tekanan. Tak ada lagi waktu untuk beristirahat dan menikmati alur hidup yang sudah Allah tentukan, semuanya terasa hambar dan memuakkan.

Aku merasa sangat stuck di tempat dan berputar-putar tak jelas dalam masalah yang sama. Seperti benang kusut yang sulit untuk diuraikan. Begitulah masalah hidupku yang sampai sekarang tak menemukan titik terang.

"Lepasin tangan gue Lukman!" Aku berkata dengan begitu tegas.

"Kamu sudah sangat keterlaluan. Melibatkan aku dalam konflik rumah tangga kamu. Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan? Kamu berubah, tidak seperti Adara yang kukenal." Dia berkata dengan nada suara penuh ketegasan.

"Gue gak akan senekat ini kalau lo mau ngikutin apa yang gue mau. Dan ini adalah konsekuensi dari perbuatan lo!" desisku tajam.

"Tapi gak---"

"Sudahlah jangan lagi lo ikut campur sama hidup gue. Mulai detik ini juga gue gak mau lagi ketemu sama lo. Cukup sampai di sini, dan makasih buat semua materi yang sudah lo keluarin buat gue."

Habis manis sepah dibuang. Aku tak peduli bagaimana tanggapan orang-orang akan kelakuan bar-barku yang sangat tidak manusiawi. Aku tak menginginkan hubunganku dan Lukman rusak hanya karena Arda, tapi mau apa dikata semua ini sudah terlanjur terjadi juga.

Arda telah berhasil merusak hidupku. Aku sangat-sangat tidak suka dengannya. Dia harus merasakan penderitaan yang lebih parah dibandingkan denganku. Aku akan membuat dia menderita semenderitanya.

"Semuanya bisa kita bicarakan secara baik-baik, Adara," katanya dengan netra yang sangat menelisik padaku.

Aku menggeleng keras. "Lo yang bilang gak mau lagi gue libatin sama masalah gue. Secara gak langsung lo mau mengakhiri semuanya," sahutku sengit.

Aku sangat kesal pada Lukman yang sekarang sudah tidak satu jalan dan satu pemikiran. Perubahannya sangatlah memuakkan.

"Kamu salah paham, Adara." Dia masih berusaha untuk kembali mengambil simpatiku, tapi aku sama sekali tak berminat.

"Pulang lo sana!" Dengan kasar dan tidak sopannya aku mengusir dia.

Aku dan Lukman sama-sama diliputi emosi serta ego yang tinggi, dan menyuruhnya untuk pergi adalah opsi terbaik agar aku tak semakin memperunyam semua masalah ini.

Dia menurut, aku melihat kedua tungkainya berjalan menuju mobil dan tak lama dari itu suara mesin terdengar. Pagar rumah yang memang masih terbuka lebar seakan mempersilakan kendaraan beroda empat itu pergi.

Dengan langkah malas aku berjalan masuk ke dalam rumah. Rasanya aku ingin menghilang dan tak lagi tinggal satu atap bersama laki-laki seperti Arda. Orang-orang selalu menilainya sempurna tanpa celah, tapi lihatlah apa yang telah dia lakukan pada hidupku? Dia menghancurkannya hanya dalam hitungan menit saja. Dia ada hanya untuk membuat masalah. Pembuat onar itulah julukan yang pas untuknya.

Baru saja aku mendaratkan bokong di sofa dan Arda sudah muncul dari balik kamar. Dia sudah rapi dan sepertinya dia akan bersiap untuk berangkat kerja. Dia sungguh sudah sangat gila, di tengah rumitnya masalah di antara kami berdua, dia masih sempat-sempatnya memikirkan perihal pekerjaan.

"Aku pergi. Jaga diri kamu baik-baik, assalamualaikum," katanya dengan nada suara rendah.

Ke mana perginya Arda yang tadi menampakan urat-urat leher hingga hampir memberikan Lukman bogeman mentah? Dia sudah seperti orang yang memiliki kepribadian ganda. Aku tak mengerti dengan jalan pikirannya.

"Wa'alaikumussalam. Pergi sana, kalau perlu gak usah balik lagi." Aku berkata dengan nada suara tinggi.

Arda mengangguk singkat dan memberikan sedikit senyum tipis. Sungguh manusia aneh dan membingungkan. Menghadapi Arda yang begitu misterius membuat kerja otakku melambat, bahkan mungkin sudah ngadat.

Rumah yang memiliki ukuran tak seberapa ini sangat sepi, hanya ada suara detik jarum jam yang berjalan tanpa lelah  sedikit pun. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam dan aku masih saja betah berleha-leha di atas sofa. Tak ada niat sedikit pun untuk pindah ke kamar. Biarkan saja seperti ini. Toh aku hanya tinggal seorang diri saja.

•••

Pagi-pagi buta aku sudah bangun, bergegas untuk membersihkan diri lantas bergerak cepat untuk menunaikan ibadah salat dua rakaat. Tak memerlukan waktu lama, hanya sekitar lima menit aku sudah selesai dengan kegiatan salat express-ku. Jika Mamah tahu, pasti aku akan kena omelnya habis-habisan.

"Adara kalau salat yang bener. Salat kok kaya orang kalap, cepet banget. Mamah bingung apa kamu benar-benar baca bacaan salatnya? Kalau mau hidup bener, benerin dulu salatnya!"

Rentetan perkataan itulah yang selalu beliau lontarkan saat tak sengaja memergokiku yang sedang salat dengan tak sabaran. Lagian aku heran sama Mamah yang kalau salat bisa sampai setengah jam. Ngapain saja? Apa tak pegel-pegel tuh badan? Aku saja kalau salat maunya selesai cepat-cepat. Bacaan salatku pun tak kalah cepat, bahkan cenderung rusuh kaya orang mau demo. Tak jelas gitulah.

Rasa lapar membuatku mau tak mau berjalan menuju dapur. Pagi-pagi buta begini perutku sudah meminta jatah, dan aku sangat malas untuk memasak. Aku mendengus kesal saat mendapati isi kulkas yang sudah kosong melompong. Ish, bahan masakan yang Mamah belikan ternyata sudah habis tak bersisa. Mana uang yang Arda berikan sudah tinggal bubuknya saja. Terus lagi kartu gold unlimited milik Lukman pun sudah kukembalikan. Sungguh malang sekali nasibku pagi ini.

Dengan langkah lunglai tak bertenaga aku kembali ke kamar, sepertinya tidur selepas Subuh bisa sedikit menyamarkan rasa lapar. Sungguh sangat memalukan sekali. Seorang Adara Mikhayla Siregar hidup susah sampai kelaparan. Dunia memang sudah begitu kejam. Aku yang dulu tak pernah memikirkan bagaimana rasanya susah, dan selalu dilimpahi fasilitas yang wah. Tapi sekarang? Untuk makan saja uang tidak ada. Argh, ini semua gara-gara Arda. Lihat saja kalau sampai nanti dia pulang kerja, akan kumaki habis-habisan dia. Kalau perlu kulenyapkan pada waktu itu juga. Aku sudah tidak kuat hidup bersamanya.

Pokoknya aku harus segera berpisah darinya. Bodo amat dengan tenggang waktu yang masih tersisa. Aku tak peduli sama sekali. Dan untuk kedua orang tuaku, biarkan saja mereka tahu kebenaranan ini. Toh aku juga sudah capek bersandiwara seolah-olah semuanya baik-baik saja. Jika pun mereka marah dan menistakanku sebagai anak. Tak apa, aku akan menerimanya. Daripada harus bertahan dengan dia yang sangat jauh dari harapan, dan tak bisa diandalkan. Lebih baik kena omel Mamah dan Papah yang mungkin hanya sesaat saja.

~TBC~

Apakah sampai sini masih ada yang nunggu dan baca???

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang