26-Ratu Drama

1.2K 163 0
                                    

"Aku yang selalu berkata jujur apa adanya kini menjelma sebagai ratu drama yang diliputi dengan perkataan dusta."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Baru saja aku menutup pintu, suara klakson yang berasal dari luar gerbang semakin mempercepat laju tungkaiku. Dan benar saja Lukman sudah berdiri di dekat kap mobil untuk menyambut kedatanganku lantas membukakanku pintu seperti biasa. Dia memang paling peka dan perhatian jika memperlakukanku.

"Suami kamu kasih izin, kan?" tanyanya saat aku sedang memasangkan sabuk pengaman.

Aku menoleh sekilas ke arahnya. "Jangan buat mood gue ancur deh. Sudah syukur gue mau nolongin lo," sahutku jengkel dan kesal.

Bisa-bisanya Lukman menanyakan hal semacam itu. Sudah tahu hubunganku dan Arda tidak seperti rumah tangga kebanyakan pasangan lainnya.

"Aku hanya bertanya saja, Adara," cetusnya setelah dia melajukan kendaraan beroda empat itu.

Aku tak menyahut. Malas menanggapi ocehan unfaedah-nya, lebih baik menatap jalanan yang cukup ramai lancar.

"Gue mau buat pengakuan sama lo," kataku yang berhasil mengambil sedikit fokusnya.

"Apa?" Satu kata itu meluncur bebas dari sela bibir Lukman.

Aku menurunkan kursi yang kududuki sampai turun setengahnya, hingga posisiku sedikit rebahan. Kedua tanganku sengaja kujadikan bantalan. "Cowok yang lo temuin di gerbang kampus beberapa hari lalu itu sebenarnya suami pilihan kedua orang tua gue," terangku enteng tanpa beban.

Aku tak mau lagi berbohong dan bersandiwara di khalayak ramai, terlebih lagi pada Lukman yang sudah cukup dekat denganku. Biarkan saja dia tahu.

Mobil yang semula berjalan dengan kecepatan sedang langsung berhenti dan menimbulkan suara decitan ban yang beradu dengan aspal. "Becanda kamu gak lucu, Adara."

Aku tertawa hambar mendapati respons keterkejutan yang terpatri apik di wajahnya. "Buat apa juga gue becanda soal kaya beginian. Gue ngomong jujur apa adanya."

"Jalan buruan sebelum pengendara di belakang pada demo," lanjutku saat mendengar suara klakson tak santai dari beberapa mobil di belakang sana. Lukman menurut walau masih dengan tampang shock-nya.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang sih, Adara?" protesnya dengan lirikan maut membunuh. Biasa saja dong ekspresinya, jangan kaya mau nelen orang gitu.

"Ya mana gue berani. Yang ada lo langsung kabur dan gak mau lagi menuhin semua kebutuhan gue yang bejibun banyaknya itu. Apa jadinya kalau sampe gue hidup terlunta-lunta tanpa fasilitas yang lo kasih." Aku menjawabnya dengan jujur tanpa beban ataupun rasa bersalah sedikit pun.

Lukman menghela napas panjang. "Kenapa itu sih yang kamu takutin. Kalau masalah itu kamu tenang saja, aku gak akan tarik semua fasilitas yang sudah aku kasih sama kamu, Adara."

Aku hanya nyengir saja mendengar penuturannya. "Ya sudah sih sudah lewat juga. Lagian gak penting juga sebenarnya gue kasih tahu identitas Arda sama lo."

"Jelas itu penting, Adara. Mau seperti apa pun suami kamu, dia akan tetap menjadi suami kamu. Aku jadi merasa gak enak hati karena waktu itu malah mengakui kamu sebagai calon istriku. Padahal jelas-jelas dia suami sah kamu," jelas Lukman.

Pantas saja Arda memasang tampang judes menyeramkan, dan mendiamkanku pada saat berada di rumah Mamah. Rupanya dia merasa tersinggung dan sakit hati karena perkataan Lukman. Seharusnya dia sudah menyiapkan hati dan mental akan hal itu. Tapi dia terlalu takabur dan percaya diri bahwa aku akan dengan mudah menerima kehadirannya. Padahal aku sama sekali tak ada niat untuk membuka hati untuknya.

"Sudah ah jangan bahas dia. Males gue!" Aku tak ingin lagi mendengar ocehan Lukman yang tak bermutu itu.

Lukman seperti sengaja menghentikan mobilnya di tepi jalan. "Gak ada satu pun pria yang rela melihat wanitanya diakui dan dimiliki pria lain, Adara. Apalagi dia adalah suami kamu. Aku rasa dia pria baik-baik dan bisa jadi imam terbaik untuk kamu---"

Dengan cepat aku memotong ucapannya. "Lo gak tahu kaya apa dia sebenarnya. Gue sama dia itu gak akan pernah bisa akur sampai kapan pun. Kerjaan kita cuma ribut dan adu mulut. Jadi gue minta sama lo, stop bahas soal dia!"

Ternyata keputusanku untuk berkata jujur apa adanya pada Lukman adalah sebuah kesalahan, yang seharusnya tidak kulakukan. Aku menyesal telah membongkar sandiwaraku. Aku pikir dia akan mendukungku seratus persen untuk segera mengakhiri hubungan bersama Arda, tapi nyatanya dia sama saja seperti kedua orang tuaku yang selalu menganggap Arda baik dan sempurna tanpa celah.

Mungkin kalian heran dan bertanya-tanya dengan hubunganku dan Lukman yang sudah seperti sepasang kekasih ini. Tapi pada kenyataannya di antara aku dan dia sama sekali tak menaruh perasaan, semuanya murni hanya sebuah pertemanan yang saling menguntungkan. Dia memang tidak bisa jauh-jauh dariku, karena dia masih memerlukan bantuanku. Dan Aku pun sama halnya seperti dia. Tak ada istilah main hati dan perasaan di antara kami berdua.

"Ok. Aku rasa pertemuan kita ini yang terakhir, aku gak mau terlibat lebih jauh lagi dengan masalah rumah tangga kalian. Tapi kamu tenang saja, untuk masalah materi aku gak akan mencabutnya," tuturnya setelah menginjak pedal gas dan mobil kembali meluncur membelah jalanan.

"Gak bisa gitu dong, gue masih perlu bantuan lo. Gue sudah terlanjur bohong sama dia kalau gue hamil anak lo---" Belum sempurna kalimat yang kulontarkan, mobil kembali berhenti mendadak tanpa pemberitahuan.

Napas Lukman memburu dan menatapku penuh intimidasi. "Tindakan kamu sudah keterlaluan, Adara. Gak ada satu pun suami yang bisa menerima kenyataan kalau ternyata istrinya mengandung anak dari pria lain. Aku gak ngerti sama jalan pikiran kamu."

Pandanganku lurus ke arahnya. "Semuanya terjadi begitu aja, tanpa rencana sama sekali. Gue juga bingung dan gak ngerti, kenapa mulut gue lancar banget ngomong kaya gitu," selaku membela.

Papah yang memancing dan memulai semuanya. Aku hanya mengikuti alurnya saja.

Air muka Lukman sangat sulit untuk kuartikan. Kenapa dia sampai memasang tampang seperti itu? Aku menjadi serba salah dan tak tentu arah. Melihat respons yang dia tampilkan justru semakin menambah keruwetan masalah yang kurasakan.

"Aku antar kamu pulang sekarang. Kita harus menjelaskan semuanya pada suami kamu, Adara." Aku shock bukan kepalang dengan tindakan Lukman yang tanpa izin langsung berputar arah.

"Ah gak asik lo mah. Gue aja mau tuh bantuin lo, terus kenapa lo malah kaya gini sama gue?" sahutku.

Aku tak mau Lukman mengacaukan rencana yang sudah kususun dengan sangat matang dan terperinci.

Helaan napas terdengar keluar dari sela bibir Lukman. "Ini beda kasus, Adara. Kamu memanfaatkan aku untuk kepentingan kamu pribadi," elaknya.

Heh! Apa dia tidak berpikir kalau selama ini aku memanfaatkan dirinya sebagai ATM berjalan. Apa perlu juga aku mengingatkan dia kalau dia pun sama sepertiku, memanfaatkanku untuk menghindar dari perjodohan yang ibunya layangkan. Tahu diri dikit napa tuh orang. Kita berdua itu sama-sama saling membutuhkan dan berbagi keuntungan.

"Judulnya beda tapi tujuannya sama. Lo butuh gue buat gagalin rencana perjodohan Nyokap lo, dan gue butuh lo buat lepas dari pernikahan konyol orang tua gue. Impas, anggap aja ini hubungan kerja sama yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme," kataku dengan lancar dan cukup panjang.

Jangan sampai Lukman nekad menghancurkan semuanya, padahal ini sudah hampir setengah jalan dan kukira Arda pun percaya dengan kebohonganku.

Kebohongan? Ish, rasanya aku tak percaya dengan kebenaran itu. Aku yang selalu berkata jujur apa adanya kini menjelma sebagai ratu drama yang diliputi dengan perkataan dusta. Kehadiran Arda memang berdampak buruk padaku. Baru hitungan minggu saja dia sudah berhasil menyulapku menjadi seorang pendusta ulung.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang