11-Sebuah Kesepakatan

1.9K 214 5
                                    

"Sebuah pernikahan itu terjadi karena dua belah pihak saling menyayangi dan mengasihi, bukan malah seperti yang kualami kini. Dinikahkan secara paksa dan tanpa sepengetahuan sama sekali."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Kedua netraku mengerjap cepat saat mendapati suara bising yang mengganggu gendang telinga. Tatapanku jatuh pada seseorang yang duduk tepat di tepi ranjang samping tempatku berbaring. Mataku dengan refleks berkelana menyusuri setiap wajah yang begitu familiar. Apa yang terjadi denganku hingga Mamah, Papah, Tante Annisa, Om Arga, dan lelaki menyebalkan tak tahu diri itu berkumpul di dalam kamar.

"Jauh-jauh lo dari gue!" Aku menatap tak suka akan kehadiran Arda bahkan aku pun menggeser tubuhku agar menjauh dari lelaki yang katanya sudah resmi menjadi suamiku itu.

Gak sudi aku jadi istrinya. Ogah!

"Yang sopan dong, Sayang kalau ngomong sama suami," tegur Mamah dengan suara lembut. Mau Mamah pasang tampang sedih tersedu-sedu juga aku takkan luluh dan mau melanjutkan pernikahan yang sangat-sangat tidak kuinginkan ini.

"Dia bukan suami Adara! Adara masih lajang dan gak mungkin nikah sama cowok modelan kaya gitu." Aku berbicara tanpa saringan dan seperti tak menganggap keberadaan kedua orang tua Arda.

Bodo amat. Aku ingin membuat Tante Annisa dan Om Arga muak dan marah. Syukur-syukur mereka langsung mengurus surat perceraian ke pengadilan.

"Kamu demam, Adara jangan terlalu lelah dan harus banyak istirahat yah." Penuturan Tante Annisa yang biasanya membuat hatiku tenang dan damai kini justru sangat bertolak belakang.

"Adara bukan demam tapi stres!" sahutku dengan raut wajah kesal dan nada suara tinggi. Aku ingin membuat Tante Annisa benci dan hilang simpati agar aku bisa terbebas dari pernikahan tak diinginkan ini.

"Sebenarnya kamu itu kenapa sih? Pingsan dalam keadaan terbaring di atas ranjang dan masih menggunakan jubah mandi. Apa yang kamu lakuin seharian kemarin Adara?" tanya Papah penuh perhatian.

Air mataku rasanya ingin terjun bebas saat bertemu pandang dengan mata teduh beliau. Kenapa Papah tega memberikan aku pada Arda? Kenapa?

Aku tak mau menjawabnya. Tanpa kuberi tahu pun pasti mereka sudah menduga dengan kegiatan mandi malamku. Pertanyaan Papah itu hanya basa-basi saja. Aku merapatkan selimut tebal berwarna putih yang membungkus tubuh indahku. Tapi aku terpekik kaget saat melihat keadaan tubuhku yang sudah memakai sweater rajut dan juga celana panjang. Aku mendelik meminta penjelasan.

Mamah yang mengerti dengan kode yang kutunjukan langsung menjawab, "Mamah yang gantiin kamu baju. Jangan mikir aneh-aneh."

Aku semakin melotot saat Mamah dengan enteng mengatakan, 'jangan mikir aneh-aneh' siapa juga yang berpikiran seperti itu. Aku hanya khawatir dan takut terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan.

"Sepertinya kalian harus bicara empat mata. Kami keluar dulu selesaikan semuanya secara dewasa dan pemikiran yang jernih. Jangan mengambil keputusan pada saat keadaan sedang kacau." Om Arga yang sedaritadi bungkam akhirnya angkat bicara.

Aku gagal membuat kedua orang tua Arda hilang simpati.

"Gak ada. Adara butuh waktu sendiri. Gak perlu ada yang dibicarain lagi!" tukasku menolak mentah-mentah saran dari Om Arga.

"Jangan bersikap seperti itu dong, Nak," tegur Papah lembut dibarengi dengan elusannya tepat di puncak kepalaku.

"Kenapa Papah jadi jahat gini sih sama Adara? Adara kan sudah turutin permintaan Papah tapi kenapa Papah lakuin ini sama Adara?"

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang