25-Keluyuran Malam

1.2K 172 1
                                    

"Aku tak ingin membuatmu menaruh banyak harap, dan menghadiahimu dengan kata-kata pedas menyakitkan adalah cara ampuh yang kutempuh."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Di tengah kesibukanku berkutat di dapur, suara salam yang dibarengi dengan kemunculan Arda membuat fokusku teralihkan dan menghentikan sejenak kegiatan memasak. Pakaian yang dia gunakan sudah sangat basah kuyup, bahkan lantai yang dia jadikan pijakan pun terkena imbasnya. Otaknya sungguh tidak sehat, hujan masih lebat tapi dia menerobosnya tanpa aturan.

Aku berjalan menghampirinya setelah mengambil handuk di dalam kamar. "Jangan buat gue repot deh lo. Kalau mau sakit, ya sakit aja tapi jangan sampe ribetin gue," kataku setelah melempar asal handuk tepat di depan wajahnya.

"Makasih," sahutnya dengan tangan yang sibuk mengusapkan kain putih tebal berukuran segi panjang itu ke wajah dan rambutnya.

Dasar manusia aneh. Dimaki-maki kok malah bilang makasih.

"Ambil baju lo dulu sebelum masuk kamar mandi." Langkahnya yang akan memasuki toilet langsung berputar haluan dan memasuki kamar.

For your information saja yah kalau aku tak mengizinkan Arda untuk memakai kamar mandi yang ada di dalam kamar. Itu adalah ruangan pribadiku dan tidak boleh ada satu orang pun yang pakai selain aku tentunya. 

Melihat Arda yang sudah menghilang ditelan pintu, aku dengan segera melanjutkan kegiatan memasak yang tadi sempat terhenti. Di tengah cuaca dingin seperti sekarang tubuh perlu asupan makanan yang hangat dan menggugah selera. Semangkuk sup ayam berukuran sedang sudah terhidang di meja makan, kepulan asapnya pun begitu terlihat dengan jelas. Nasi putih panas yang baru kukeluarkan dari alat penanak nasi semakin membuat perutku keroncongan. Sepiring gorengan hangat pun semakin melengkapi santap siang kali ini. Hari sudah mulai sore sih, dan bukan masuk jam makan siang juga tapi tak apalah yang penting makan dan perut kenyang.

"Makan tuh, untuk hari ini gue berbaik hati mau kasih makanan yang bergizi. Noh minum juga teh angetnya biar lo gak masuk angin." Aku berkata dengan judes saat Arda baru saja keluar dari kamar mandi.

Penampilannya sudah lebih baik dan rapi dengan kaus hitam polos lengan panjang dan juga celana panjang.

"Tumben, tadi di jalan gak kepentok apa-apa kan sama kepala kamu?" Aku melempar wajahnya dengan serbet yang berada di meja makan.

Enak saja tuh mulut kalau ngomong, minta dilakban kali yah. Dibaikin salah dijedusin malah biasa saja, tuh orang emang langka dan satu-satunya di dunia.

"Kalau gak mau ya gak usah banyak ngomong segala. Sudah untung gue mau kasih lo makan," sahutku kesal.

Dia tekekeh pelan sebelum menyesep tehnya. "Kok tawar sih, Dar?" tanyanya.

Aku memutar bola mata malas dan menjawab, "Cukup gue aja yang manis jangan ada yang lain. Kalau lo diabetes bahaya. Nanti lo bingung mau berobat bayarnya pake apaan."

"Adara... Adara... tingkat percaya diri kamu tinggi juga yah," ucapnya sebelum satu suapan nasi meluncur ke kerongkongan.

Aku diam saja dan lebih memilih untuk melanjutkan acara makan. Terserah dia saja mau berkomentar apa. Hidangan di meja makan lebih menggoda dibandingkan harus meladeni dia berbicara. Buang-buang energi saja.

"Cuci piring sendiri, anggap aja itu bayaran atas makanan enak yang lo makan. Terus sekalian pel juga lantai yang basah bekas lo." Aku langsung berjalan meninggalkan dia yang masih terlihat menikmati makanannya.

Arda mengangguk dan menunjukan jari jempolnya, tanda setuju. Kukira dia akan menolak dan mencak-mencak tapi ternyata dugaanku salah besar. Syukurlah ternyata dia cukup tahu diri dan tahu bagaimana caranya berterima kasih serta balas budi.

•••

Tepat sekitar pukul delapan malam aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Rencananya malam ini aku akan pergi bersama Lukman untuk menemani dia bertemu dengan ibu serta perempuan pilihan ibunya. Sejujurnya aku bingung harus berpenampilan seperti apa.

Jika dulu sebelum berhijab mungkin pilihanku akan jatuh pada sebuah gaun tiga perempat yang elegan dan juga sepatu tinggi yang selalu menunjang gaya berpenampilanku. Tapi sekarang aku kesulitan dalam memilih pakaian, memakai apa pun rasanya tidak pantas saja kalau aku yang gunakan.

Memakai baju gombrong model mukena sudah pasti kena cemoohan karena dikira salah kostum. Jika pun menggunakan rok panjang dan blouse jatuhnya pun akan tetap sama. Mungkin dulu aku tak pernah memusingkan omongan orang perihal penampilanku. Tapi untuk sekarang rasanya lain, memerlukan banyak pertimbangan. Bergamis lebar tapi masih doyan keluyuran malam dengan pria yang bukan mahram, pasti akan mendapatkan kritikan pedas.

Dan pada akhirnya hijab yang kugunakanlah yang menjadi imbasnya. Padahal pada hakikatnya antara aurat dan akhlak adalah dua hal yang berlainan. Tidak bisa disamaratakan. Tidak semua wanita berhijab berakhlak baik sesuai syariat, dan tidak pula semua wanita yang mempertontonkan aurat itu sesat. Mungkin saja mereka tidak tahu dan harus sedikit diberi pengarahan. Bukan malah dicela habis-habisan.

Pilihanku jatuh pada celana baggy pants berwarna pastel yang kupadu-padakan dengan kemeja putih polos, dan juga blazer taffy vivaldi berwarna senada dengan celana. Sehelai kain pashmina membingkai kepala yang sengaja kuikat ke belakang. Sling bag dan juga sepatu berhak tinggi semakin memaksimalkan penampilan. Cara berpakaianku kelewat modis dan mengikuti tren yang saat ini sedang in, menyalahi aturan memang tapi entah mengapa aku nyaman dengan pakaian semacam ini. Rasa percaya diriku melonjak tinggi.

"Mau ke mana?" todong Arda saat aku baru saja menutup pintu kamar. Mulai kumat lagi tuh penyakit basa-basinya. Tak bisakah dia melihat penampilanku yang sudah cetar maksimal seperti sekarang, ya sudah pasti akan pergi hangout-lah. Tak mungkin kan pergi kondangan pakai baju seperti ini.

"Ketemu ayah dari calon anak gue," jawabku asal. Malas juga jika terus seperti ini. Apa-apa harus meminta izinnya. Hidupku terasa tak bebas dan penuh tekanan.

Urat-urat lehernya mengencang dengan kedua tangan terkepal. Sepertinya dia sedang menahan emosi. Bagus deh kalau dia marah, syukur-syukur tanpa sadar dia ngucap talak.

"Baru tadi pagi kamu ketemu dia. Terus sekarang mau ketemu dia lagi? Ini sudah malam, Adara!"

Aku memperlihatkan arlojiku ke hadapan wajahnya. "Baru jam delapan, Arda. Jam segini mah bukan malam," elakku.

"Lagian suka-suka gue aja kali. Mau jalan jam berapa, sama siapa, orang gue ini yang keluyuran. Ngerugiin lo juga gak. Ya sudah sih bawa santai aja. Jangan ribet kaya gini," sambungku lantas menjalankan tungkai untuk menuju pintu.

"Aku gak kasih izin kamu pergi, Adara!" serunya tanpa tahu malu mem-block jalanku.

Aku menatap sengit mukanya yang tak seberapa itu dengan tampang songong. "Siapa juga yang minta izin lo. Mau lo izinin kek, gak kek. Gak ngaruh buat gue!"

Sebelum aku benar-benar menutup pintu kembali aku sengaja berucap, "Lo harus inget, kalau posisi lo di sini hanya sebatas suami sementara bukan selamanya. Tahu diri dikitlah kalau jadi orang, sampai kapan pun gue gak akan sudi dan mau jadi istri lo."

Setelah puas memaki-makinya aku langsung berlalu pergi meninggalkan dia yang diam tanpa kata. Aku tahu dan menyadari bahwa ucapanku terlalu keras dan menyakitkan, tapi aku harus mengingatkan dia akan statusnya. Pernikahan ini akan segera berakhir dan aku harus benar-benar memanfatkan detik-detik terakhir ini untuk membuat dia sakit hati, kalau perlu sengsara dan menderita. Dia yang membuatku seperti ini dan dia juga harus merasakan penderitaanku selama ini.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang