48-Drama Malam Hari

1.2K 153 0
                                    

"Selalu ada pelangi selepas hujan badai menghadang. Kepahitan yang saat ini kurasakan pasti akan berbuah manis di masa yang akan datang."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Perbincangan singkatku dengan Maryam tadi pagi di kampus begitu terngiang-ngiang dalam ingatan. Bahkan tadi pada saat sedang bimbingan perihal nasib skripsi pun otakku sama sekali tak bisa diajak kompromi. Sudah berkali-kali aku mendapatkan teguran dari dosen pembimbing karena ketahuan tak menyimak penjelasan. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri yang tak bisa mengendalikan emosi serta gejolak dalam hati.

Laptop yang masih menyala kubiarkan begitu saja, dan aku malah sibuk dengan pemikiran yang sudah melanglang buana ke mana-mana. Hari sudah semakin larut tapi kantuk belum juga datang, oleh sebab itu aku memutuskan untuk mencicil revisian skripsi yang tadi dosen berikan. Tapi otakku malah tak bisa diajak damai dan berkonsentrasi. Fokusku hanya tertuju pada sehelai kain berwarna hitam yang tadi sempat Maryam berikan.

"Allah sudah melebihkan rupa yang indah untuk kita, tapi alangkah lebih baiknya jika kelebihan ini hanya kita perlihatkan pada orang-orang yang halal untuk melihatnya. Jangan sampai di akhirat nanti kita dimintai pertanggungjawaban dosa atas kelebihan fisik ini."

Sepenggal kalimat itu sangat amat mengganggu kerja otak. Aku tak siap jika harus menggunakan penutup wajah ini, tapi aku pun takut jika di akhirat nanti ada orang-orang tak dikenal yang meminta pertangungjawaban padaku. Sungguh dosaku saja sudah tak terhitung banyaknya, dan jika harus ditambah dengan dosa-dosa orang lain juga, aku takkan sanggup untuk memikulnya.

"Di balik setiap pujian menyimpan banyak ujian. Salah satunya rasa angkuh dan sombong diri yang berkembang dalam hati." Setiap kata per kata yang Maryam lontarkan entah mengapa begitu menusuk tepat ke ulu hatiku. Rasanya begitu sakit dan menyesakkan.

"Aku kira kamu sudah tidur, dari tadi aku teriak-teriak ngucap salam tapi gak ada sahutan." Aku terperanjat kaget saat melihat keberadaan Arda yang sudah berdiri tepat di belakangku. Sejak kapan dia pulang?

Aku melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Pantas saja dia sudah pulang. "Maaf aku gak denger," kataku dengan tangan sibuk meng-close beberapa fitur di laptop yang tadi sempat kubuka serta langsung mematikannya.

"Mau aku siapin minum atau air hangat buat mandi?" tawarku. Malas sebenarnya tapi mau tak mau aku harus bisa menjadi istri yang baik untuknya. Aku tak ingin bermain-main lagi, sudah cukup dengan kejadian kemarin yang membuatku hampir gila karena masalah yang tak menemukan titik terang.

"Gak usah mending kamu tidur saja. Aku tahu kamu pasti capek karena seharian ini ngerjain skripsi," matanya melirik sekilas ke arah jarum jam, "bahkan sampai larut malam begini kamu belum tidur, dan malah sibuk berkutat sama laptop dan juga buku-buku kamu."

Aku tak menjawab perkataannya. Jika saja dia tahu kalau seharian ini waktuku hanya dihabiskan untuk bengong dan melamun. Laptop dan buku-buku yang berserakan di atas pembaringan hanya kamuflase untuk menyamarkan kegiatanku yang sebenarnya.

"Aku belum ngantuk. Mau kopi panas atau teh panas?" Aku kembali menawarinya. Cuaca di luar sana sedang hujan, dan kuyakin dia pasti kedinginan. Secangkir teh panas ataupun kopi sepertinya menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

"Kopi saja," jawabnya yang langsung kuangguki. Kedua tungkaiku berjalan ke dapur, memanaskan air di atas kompor sampai airnya benar-benar matang dan mendidih. Aku lupa mengaktifkan tombol on pada dispenser jadi mau tak mau aku harus memasak airnya secara manual.

Namun entah mengapa pada saat aku akan menuangkannya air panas itu malah meleset dan mengguyur tangan kiriku. Aku sama sekali tak kuasa untuk menahan rasa sakit dan panasnya, sampai tanpa sadar aku sudah meneriaki nama Arda agar segera datang menolong.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang