30-Sebuah Kebetulan?

1.3K 171 0
                                    

"Entah sampai kapan aku harus terus-menerus terpenjara oleh dia dan segala bentuk drama hidupnya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Ada begitu banyak tipe manusia dalam menghadapi masalah. Mencoba sabar dan ikhlas serta menjalaninya dengan penuh kelapangan hati. Ada pula yang semakin mendekatkan diri pada Sang Illahi. Tapi tak jarang ada juga yang memutuskan untuk bunuh diri dan mengakhiri hidupnya---dengan harapan setelah mati tidak lagi mengenal apa yang namanya cobaan dan ujian. Tipe manusia sejenis ini yang paling kutakutkan terjadi padaku, karena imanku yang tak begitu kokoh dan bisa sangat mudah menelan mentah-mentah bisikan setan yang sangat menyesatkan. Opsi pertama dan kedua pun sangat jauh dan tak mungkin kulakukan.

Bersabar dan mencoba untuk menjalaninya dengan lapang dada? Tidak akan pernah aku mau melakukan hal semacam itu. Hanya membuang-buang waktu saja. Mendekatkan diri pada Sang Illahi? Ini lebih tak mungkin lagi. Mana mungkin aku yang gemar berbuat maksiat dan kerjaannya hanya mengurusi dunia berlaku hal seperti itu. Itu bukanlah diriku. Aku ini orangnya terlalu berpikir logis serta realistis dan tentunya matrealistis. Lebih banyak menggunakan kerja otak dibandingkan bermain perasaan. Capek kalau hati selalu dijadikan tameng utama. Sakit hati sudah pasti dan mungkin saja bisa sampai sakit jiwa juga, jika otaknya tak berjalan dengan baik dan benar.

Aku langsung memblok jalan Arda saat laki-laki itu baru saja menginjakkan satu langkahnya di ambang pintu. Aku takkan mengizinkan dia masuk. Bukankah semalam dia bilang tidak akan pulang? Lalu untuk apalagi sekarang dia ke sini. Tak ada gunanya sama sekali.

"Ngapain lo pulang?" todongku tanpa sedikit pun rasa iba melihat wajah lelahnya.

"Maaf, Dar aku gak bisa menuhin keinginan kamu semalem," katanya yang terdengar begitu lemah. Sepertinya dia sangat kelelahan sekali. Tapi aku tak mau peduli.

Aku berkacak pinggang dengan gaya pongah menatap ke arahnya. "Gak ada. Lo sendiri yang semalem mengiyakan omongan gue. Jadi gak ada dispensasi."

"Aku capek, Dar."

"Gue lebih capek. Lo kira hidup gue apaan, hah? Lo sudah ngancurin semuanya!"

Arda menghela napas berat sebelum berucap, "Sekarang apa mau kamu?"

Ditanya seperti itu tanpa mau berbasa-basi lagi aku langsung menjawab, "Ceraiin gue sekarang!"

Dia menggeleng kuat dengan kedua tangan yang saling mengepal hebat. "Gak akan pernah." Sorot matanya yang tadi sayu sekarang berubah menjadi tajam menyeramkan.

"Kenapa? Lo gak ada hak sedikit pun atas diri gue. Apalagi gue lagi hamil anak Lukman." Sebisa mungkin aku berkata dengan suara lantang. Tapi jujur saja lututku sudah bergetar hebat karena melihat wajah tak santai Arda.

"Kamu istri aku." Hanya tiga kata itu yang keluar dari bibirnya. Tapi kalimat singkat itu membuat sesuatu dalam dadaku bergemuruh tak keruan. Aku tak tahu apa yang saat ini tengah kurasakan. Tapi logikaku menentang, dan mengomando agar aku segera mengakhiri semuanya. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Istri sementara, hanya sebatas kontrak kerja sama." Aku memberanikan diri untuk kembali bertemu pandang dengan netra tajam miliknya.

Tangannya yang sedaritadi mengepal kuat kini beralih pada kedua pundakku. Mencengkramnya pelan. Aku yakin dia pasti mati-matian menahan gejolak amarah dalam dirinya. Tapi kenapa? Seharusnya dia lampiaskan saja sekarang.

"Aku capek mau istirahat," katanya dengan sedikit sunggingan. Aku membatu dengan kepala yang sudah berkunang-kunang. Apa dia tidak salah?

Aku sama sekali tak meresponsnya dan malah diam mematung bingung. Ada apa ini? Kenapa dia begitu pandai mengendalikan diri dan emosi? Aku tak mengerti dengan pola pikirnya yang begitu aneh dan berbeda dari kebanyakan orang.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang