35-Tercyduk

1.3K 163 4
                                    

"Jangan pakai perasaan. Ini hanya sebuah pernikahan yang dibumbui dengan sebuah kesepatakan."

- Adara Mikhayla Siregar-

•••

Cinta bukanlah sesuatu yang tabu bagi manusia zaman sekarang, hal itu seringkali didengar dan sangat mudah untuk diucapkan. Luasnya laut masih bisa diukur sedangkan isi hati manusia siapa yang tahu? Mulutnya selalu berkoar-koar mengatakan kekaguman serta perkataan cinta membinasakan, tapi siapa tahu itu hanya bualan saja.

Bermodalkan cinta yang salah tempat dan datang bukan di waktu yang tepat, seringkali membuat para insan salah dalam memilih langkah. Cinta yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan, justru mendatangkan malapetaka besar yang memalukan.

Cinta tanpa dibarengi dengan iman memang menyesatkan dan membuat kalap sebagian orang. Menghalalkan segala macam cara agar dia yang dicinta mampu bersanding dengan dirinya.

Aku tak bisa mempercayai seratus persen ungkapan hati yang baru saja Arda lontarkan. Aku bukan tipe manusia yang mengutamakan perasaan dibandingkan berpikir dengan akal kecerdasan. Otakku yang lebih dulu jalan, sedangkan hatiku sengaja kubiarkan istirahat pada tempatnya.

Jangan pernah percaya dengan bualan manis pria. Kata cinta yang mereka gaungkan tidak hanya ditujukan untuk kamu seorang. Ada banyak wanita di luaran sana yang sudah menjadi korbannya. Ingat Adara. Jangan pakai perasaan. Ini hanya sebuah pernikahan yang dibumbui dengan sebuah kesepatakan. Hanya itu.

"Kita perbaiki semuanya. Membuka lembaran baru dan melupakan semua kesalahan kita di masa lalu. Kamu mau kan?" Arda kembali mengulang kalimatnya. Tapi aku bingung harus menjawab apa. Otakku belum menemukan kosakata yang pas untuk menolaknya.

Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan, hal itu kulakukan secara berulang-ulang. Menjauhkan tangan Arda yang sudah lancang menjamah bagian wajahku terlebih dahulu. Melihat ke arahnya dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Gue gak bisa."

"Kenapa, Adara?" sahutnya cepat. Aku melihat banyak pengharapan di kedua netranya.

"Gue hamil, dan itu bukan darah daging lo. Lo gak ada sedikit pun tanggung jawab atas janin yang gue kandung---"

"Anak itu ada dalam pernikahan kita, maka secara gak langsung dia juga menjadi tanggung jawab aku. Aku gak akan mengungkapkan ataupun mempermasalahkan siapa dan dari mana asal-usulnya. Dia bayi suci tanpa dosa, aku gak mau dia dicap buruk oleh orang-orang. Biarkan kenyataan ini kita pendam berdua," potongnya dengan sedikit sunggingan.

Aku merasakan ketulusan dalam setiap kalimat yang baru saja Arda katakan. Terbuat dari apa hati lelaki itu? Bukannya memarahi dan menggugat cerai, tapi malah membujukku agar tetap berada di sampingnya. Dia lelaki terbodoh yang pernah kutemui.

Bagaimana kalau sampai Arda tahu jika kehamilan ini hanyalah sebuah kebohongan yang kuciptakan agar segera terbebas dari jerat pernikahan? Apakah dia akan tetap berlaku baik padaku? Atau mungkin dia akan mencampakkanku begitu saja. Aku tak mau ambil risiko jika sampai hal itu terjadi, karena kutahu sepintar-pintarnya aku menyembunyikan bangkai kebohongan, akhirnya pasti akan ketahuan juga. Tak ada yang namanya kebohongan abadi.

"Lo perlu istirahat. Kerja otak lo sudah gak sehat," kataku. Jujur saja aku sangat bingung untuk merespons penuturan Arda dengan kalimat seperti apa. Aku harus pergi sekarang untuk merilekskan pikiran.

"Gue pergi ada urusan," ucapku dengan tungkai berjalan cepat menuju kamar untuk mengambil tas.

Arda hanya diam tanpa suara, aku tahu dia masih ingin berbicara panjang lebar denganku. Tapi aku tak mau memperpanjang perbincangan dengannya. Semakin banyak kata yang dia keluarkan, maka akan semakin membuatku bingung tak ketulungan. Lebih baik menghindar.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang