13-Penyerahan Tanggung Jawab

1.7K 194 5
                                    

"Papah dan Mamah gak minta kamu jadi orang besar yang terkenal dan jenius dalam segala hal, cukup jadi wanita shalihah yang taat pada aturan."

•••

Setelah acara bernegosiasi perihal kesepakatan selesai Arda dengan begitu enteng tanpa persetujuan mau membawaku pergi keluar dari rumah Papah dan Mamah. Enak saja dia memutuskan tanpa meminta pendapatku terlebih dulu, dan yang lebih membuatku dongkol tak terkira adalah keputusan kedua orang tuaku yang melepasku begitu saja. Aku merasa dibuang dan asingkan. Apa ini alasan mereka menikahkanku secara paksa dengan Arda?

"Adara mau di sini, Mah, Pah," bujukku memasang wajah sememelas mungkin. Pokoknya aku harus bisa merubah keputusan kedua orang tuaku.

"Gak bisa gitu dong, Sayang kamu kan sudah menikah, suami kamu lebih berhak dibanding Papah dan Mamah," tutur Papah mencoba menjelaskan.

Aku menggeleng tak setuju dan semakin memasang tampang menyedihkan. "Adara masih anak Papah sama Mamah, gak ada yang lebih berhak atas diri Adara selain Papah sama Mamah. Arda cuma pria asing yang datang tanpa izin dan mau ngambil Adara gitu aja. Gak. Adara gak mau tinggal bareng sama Arda!" keukeuhku dengan lirikan mata sengit.

Papah yang duduk berada di sampingku dengan lembut penuh kasih sayang mengelus puncak kepalaku yang kini sudah tertutup kerudung berwarna hitam. Aku takkan membiarkan Arda menikmati keindahan rambutku, bahkan saat ini aku sengaja memakai baju gombrong kebesaran, sama seperti waktu aku ikut kajian. Walaupun kegerahan aku harus melakukannya demi melindungi diri dari ancaman yang sewaktu-waktu bisa saja menyerang.

"Jika seorang anak perempuan sudah menikah, otomatis baktinya akan berpindah. Papah dan Mamah memang orang tua yang harus kamu hormati sampai kapan pun, tapi suami kamu yang lebih utama."

"Siapa dia? Datang tanpa permisi dan diminta tapi bisa memonopoli hidup Adara. Itu namanya gak adil, Pah!" sanggahku tak terima. Orang tuaku masih yang utama setelah Allah dan Rasul-Nya.

"Sayang," panggil Mamah lembut dan menyita perhatian. Aku menghadap ke arah samping kanan tempat beliau berada.

Mamah mengelus sebelah pipiku sebelum berkata, "Mamah mau tanya satu hal sama kamu. Kalau kamu beli baju pasti baju itu akan beralih tangan jadi milik kamu, kan? Apa kamu pernah berpikir bagaimana perasaan pemilik baju itu? Dia yang membuat pakaian, dia juga yang menyimpan dan merawatnya, hingga pada saat waktunya tiba pakaian itu harus diambil alih oleh orang asing. Kalau kamu berada di posisi pemilik baju itu apa yang kamu rasakan?"

"Ya namanya juga pedagang, ya emang sudah kaya gitu jalannya. Kalau emang gak mau diambil orang lain ya gak usah dipasarin," jawabku.

Awas saja kalau Mamah sampai menyamakanku dengan baju. Apa belum cukup waktu itu Mamah menyamakanku dengan ketupat lebaran?

Tangan Mamah beralih menggenggam kedua tanganku. "Papah sama Mamah gak akan mungkin sembarangan memilihkan kamu pendamping hidup. Kalau pedagang baju bisa dengan mudah membiarkan miliknya diambil orang begitu saja pada saat adanya kegiatan transaksi. Lain halnya dengan Papah dan Mamah yang harus berpikir matang-matang, sebelum akhirnya menyerahkan putri kami ke tangan orang asing yang baru kami kenal hanya sebatas empat tahunan kurang. Jangan pernah kamu berpikir bahwa pernikahan ini adalah cara kami untuk melepaskan tanggung jawab, apalagi membuang kamu. Gak seperti itu, Nak." Perkataan Mamah berhasil mengetuk kekerasan hatiku yang tadi sempat berpikiran dangkal. Tapi aku tak terima dengan perumpamaan Mamah yang lagi-lagi menyamakanku dengan benda mati.

"Papah dan Mamah percaya bahwa Nak Arda bisa membimbing dan menjaga kamu dengan baik. Kalau boleh kami egois, kami gak akan pernah melepas kamu pada pria mana pun. Karena kami tahu sebesar apa pun pria itu mencintai kamu, tetap saja cinta dan kasih sayangnya gak akan bisa sebanding dengan yang kami miliki. Sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi putri Papah dan Mamah. Semuanya gak akan berubah walaupun kamu sudah menikah bahkan memiliki keturunan sekalipun. Tapi yang harus kamu prioritaskan adalah suami kamu, bukan Papah dan Mamah lagi. Ridho kamu berada di tangan suami kamu, begitu juga dengan surga kamu, Sayang. Menghormatinya adalah sebuah kewajiban yang gak boleh kamu langgar," jelas Papah dengan nada suara sedikit bergetar. Aku melihat satu tetes air mata turun dari sudut matanya.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang