10-Nikah Kilat

1.9K 223 13
                                    

"Lagi-lagi aku ditampar dengan sebuah kenyataan, bahwa aku dinikahkan tanpa sepengetahuan."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Belum selesai perihal buku nikah yang terpampang nyata di depan mata, kini aku kembali dibuat terkejut saat menatap layar televisi yang menampilkan Papah dan Arda yang tengah duduk berseberangan terhalang meja kecil, dengan beberapa orang di sekitar mereka.

Mamah, Tante Annisa, dan Om Arga pun ada dalam video itu. Aku menahan napas saat tangan kanan Papah dan Arda saling berjabatan, dan tak lama dari itu sebuah kalimat sakral menguar ke indra pendengaran.

"Saya terima nikah dan kawinnya Adara Mikhayla Siregar binti Ardito Siregar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Boom! Kata keramat yang tidak ingin kudengar itu menggema begitu lancar dari mulut Arda. Pernikahan macam apa yang tidak melibatkan calon mempelai perempuannya? Aku ingin melenyapkan mereka semua sekarang juga!

"Pah! Mah!" Tatapan mataku tajam tapi titik-titik embun siap untuk kutumpahkan. Elusan lembut yang berasal dari tangan Mamah sama sekali tak membuatku tenang. Yang kubutuhkan sekarang bukanlah elusan tapi penjelasan.

Aku melihat Papah mengembuskan napasnya perlahan sebelum berujar, "Selepas azan Subuh berkumandang Papah sudah menyerahkan tanggung jawab atas diri kamu kepada Nak Arda, suami kamu, Sayang."

Air mataku luruh tanpa bisa untuk kutahan lagi. Rentetan perkataan Papah sudah semakin memperkuat semuanya. Aku, Adara Mikhayla Siregar sudah resmi menyandang status sebagai istri dari laki-laki bernama Arda Nazma Dewanda.

Sebuah kenyataan yang membuatku lemah lunglai di atas sofa. Aku memukul-mukul dadaku yang terasa begitu sakit. Aku tak terima dengan realitas yang terjadi saat ini. Ini semua pasti mimpi! Ya ini hanya mimpi!

Jika aku dihadapkan dengan dua pilihan antara menikah dengan Arda yang sama sekali tak kusukai, atau memilih menyandang status sebagai jomlo abadi. Dengan cepat tanpa pikir panjang dua kali aku akan menerima opsi kedua. Apa yang bisa kuharapkan dari lelaki modelan Arda? Tampang tidak menjual, bahkan malu-maluin kalau diajak kondangan. Kondisi dompet krisis dan tipis. Sangat jauh dari standar yang kupatok. Masih mending teman-teman priaku yang sudah kutinggalkan.

Pernikahan adalah impian semua perempuan. Sebuah ikatan sakral antara dua anak manusia yang saling mencintai satu sama lain. Menggelar acara di gedung atau hotel mewah berbintang, bahkan mungkin dilangsungkan di tempat terbuka, seperti garden party yang sangat diidam-idamkan sebagian kaum hawa, begitupun denganku. Tapi semua itu lenyap begitu saja hanya dalam hitungan menit bahkan detik, kehidupanku langsung jungkir balik setelah kata sah menggema dari para saksi.

Sebuah gaun mewah begitu identik dalam pernikahan. Tapi lagi-lagi aku ditampar dengan sebuah kenyataan, bahwa aku dinikahkan tanpa sepengetahuan dan tampil absurd tepat di depan laki-laki yang katanya sudah resmi menjadi suamiku. Mana ada pernikahan yang hanya tampil alakadarnya seperti yang kualami sekarang. Tampil cantik dengan riasan make up khas pengantin wanita kebanyakan, gaun yang menjuntai indah hingga menyapu lantai, semua itu pupus dan sirna begitu saja.

"Ini hanya akadnya saja, Sayang untuk resepsinya akan segera kami langsungkan. Mungkin satu bulan ke depan," kata Mamah yang berhasil kembali membawaku ke alam sadar.

"Gak ada pernikahan dan gak akan pernah ada pesta pernikahan! Adara akan urus perceraiannya sekarang!"

Setelah mengatakan kalimat itu aku langsung berlari ke kamar. Menangis sendirian dan berkawan dengan rasa sakit adalah pilihan terbaik untukku menenangkan hati dan perasaan.

•••

Kepalaku pusing dan berat saat melihat jam yang sudah menunjukan angka pukul satu dini hari. Ternyata setelah kejadian yang tidak kuinginkan itu aku tertidur di kamar karena terlalu lelah menangis seharian. Aku berjalan menuju cermin, melihat pantulan diriku yang sangat berantakan. Mata bengkak dan memerah dengan kantung mata menghitam, rambut acak-acakkan semakin menambah kesan betapa hancurnya aku saat ini.

Aku mengambil jubah mandi sebelum masuk ke kamar mandi. Aku butuh kesegaran dan mandi malam bukanlah pilihan buruk untuk kulakukan. Udara dingin begitu menusuk hingga ke tulang-tulang saat aku memasuki bath up tanpa sedikit pun melepaskan pakaian yang kukenakan. Semakin lama aku bergelung di bawah air semakin dingin pula yang kurasakan. Bibirku sepertinya sudah membiru dan bergetar tapi aku tak mempedulikannya. Semoga saja pada saat aku terbangun esok hari, aku tak lagi melihat orang-orang yang membuat hidupku hancur berantakan.

Aku sudah seperti orang yang kehilangan akal dan iman hingga berpikir demikian. Tapi otakku tak lagi kuat menghadapai semua persoalan. Aku Bukanlah anak yang bisa nurut dan manut-manut begitu saja saat mendapat titah dari Mamah dan Papah. Selalu ada tolakan dan sanggahan yang akan kulayangkan saat aku tak setuju dengan apa yang mereka putuskan, terlebih lagi perihal untuk kehidupanku di masa yang akan datang. Bisa gila aku kalau terus bergelut dengan segala macam pemikiran yang hanya akan membuatku stres berkepanjangan.

Rasa pening dan pusing semakin mendominasi, aku tak mau mati konyol hanya gara-gara lelaki tak tahu diri itu. Dengan pelan dan tertatih aku bangkit dari bath up, mengambil jubah mandi yang sengaja kugantung tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Berjalan dengan sebelah tangan menyusuri tembok dan juga tangan lainnya yang sibuk memegangi kepala.

Langkahku lunglai dan sempoyongan untuk menuju pembaringan. Untuk pertama kalinya aku berlaku di luar kadar wajar orang-orang normal. Mandi di tengah dinginnya malam memang biasa kulakukan tapi untuk yang saat ini beda cerita dan entah mengapa membuat kepalaku pening bukan main. Biasanya juga tidak seperti ini.

"Gue harus cepet-cepet beresin pernikahan gila ini. Dasar Arda kurang ajar. Seenak jidat dia ngucap akad!" gerutuku dengan kedua tangan terkepal. Secepatnya aku harus mengurus berkas-berkas perceraian ke pengadilan. Kalau bisa sekarang juga.

Jika mereka bisa memutuskan tanpa melibatkanku, aku pun akan berlaku hal yang demikian. Lihat saja tindakan yang akan kuambil setelah ini. Akan kupastikan hidup Arda tak tenang, sebisa mungkin aku akan membuatnya lelah mental dan fisik karena kelakukaanku yang terkadang di luar batas normal.

Dan untuk kedua orang tuaku tercinta terima kasih karena sudah membuatku stres tak ketulungan. Aku tak akan berlaku kurang ajar pada mereka, sekalipun aku mau. Aku masih sehat dan tak mungkin melampiaskan semua kekesalanku pada orang tuaku sendiri.

~TBC~

Bagaimana nih? Apa masih ada yang nunggu lanjutannya?

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang