6-Sebuah Keputusan

1.9K 265 8
                                    

"Berhijab bukanlah perkara mudah dan ringan bagi kaum perempuan. Ada tanggung jawab dan beban besar di dalamnya. Di mana nasib seorang ayah yang akan menjadi taruhan."

•••

Sepanjang aku berstatus sebagai putri Papah, baru kali ini beliau mengutarakan sebuah permintaan. Jujur saja apa yang Papah inginkan belum mampu untuk kukabulkan. Aku terlalu menikmati masa-masa seperti sekarang yang tidak dikekang oleh beragam aturan. Ini bukanlah soal membuka dan menutup aurat saja tapi soal kesiapan iman dan juga mental.

Aku tahu bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya, tak bisa diganggu gugat dan ditentang karena itu titah langsung dari Allah. Namun apa daya diriku yang tak memiliki ilmu agama di atas rata-rata. Iman saja masih kendor. Ibadah wajib memang kukerjakan walaupun terkadang dengan keterpaksaan, maksiat pun masih tak bisa kutinggalkan.

Salat Terus Maksiat Jalan atau yang lebih familiar dengan julukan STMJ, itulah yang melekat dengan pribadiku sekarang. Aku tahu apa saja yang Allah larang dan harus kukerjakan, tapi karena memang dasar aku ini bebal dan binal masih saja melanggar tak tahu aturan.

Bukannya tak ingin memperbaiki, hanya saja aku belum mendapat apa yang orang-orang sebut 'hidayah'. Satu kata itu masih abu-abu di mataku.

Terkadang aku iri dengan orang lain atau publik figur yang kerjaannya wara-wiri di televisi, mereka mengatakan dirinya 'berhijrah' karena mendapatkan 'hidayah'. Dan sebagai manusia normal aku berontak meminta penjelasan. Mengapa Allah begitu mudah memberikan hidayah-Nya pada mereka. Sedangkan padaku?

Setiap ceramah dan petuah yang bersumber dari Mamah ataupun pemuka agama hanya seperti angin lalu yang menyadarkanku pada saat itu saja. Beberapa menit atau esok harinya hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Apa karena hatiku yang terlampau hitam kelam hingga Allah tak sudi menunjukanku jalan penerang?

Entahlah sampai saat ini aku tak mendapatkan jawaban itu. Aku ini hanyalah manusia yang bisanya membuat pusing Malaikat saja, mencatat semua dosa-dosaku yang terlalu banyak dan mungkin jika dosaku terlihat langit dan bumi ini dipenuhi dengan dosa-dosa yang sudah kuperbuat.

Elusan lembut yang berasal dari tangan besar Papah kembali membawaku ke alam sadar. Beliau menampilkan senyum terbaiknya padaku yang justru membuat dadaku sesak berontak.

"Papah gak akan maksa kamu, walau sebenarnya Papah berhak akan hal itu. Tapi Papah gak akan melakukannya, Papah ingin kamu menyadarinya sendiri. Tugas dan kewajiban Papah hanya mendoakan dan memberikan kamu pengarahan, untuk urusan akhirnya biarkan Allah yang menentukan."

Hatiku seperti dihujam ribuan pedang tak kasat mata. Sangat amat menyakitkan. Aku dikarunia orang tua yang begitu menyayangiku dengan sepenuh hati, melimpahkan cinta dan kasihnya tanpa pamrih. Tapi balasan yang mereka terima justru tak setimpal dengan apa yang sudah mereka lakukan.

Kok aku jahat banget sama mereka. Gak tahu diri. Itulah aku!

Tanpa komando aku langsung menubruk tubuh Papah begitu erat dan terisak di dalam pelukan hangatnya. Aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang saat ini tengah kurasakan. Batinku bergejolak hebat dengan beragam rasa yang saling tumpang-tindih di sana.

"Sudah ah jangan nangis. Masa putri Papah yang hebat dan kuat ini jadi cengeng," hiburnya sembari memberikan elusan penuh kasih sayang tepat di atas puncak kepalaku.

Papah itu sibuk dan sulit membagi waktu untukku dan Mamah tapi sekalinya beliau berada di samping kami, beliau begitu pandai menempatkan diri dan menebus waktu yang telah terbuang. Semenit yang hilang akan beliau ganti dengan waktu berjam-jam yang takkan pernah bisa kami lupakan.

"Kasih Adara satu alasan kuat kenapa harus tutup aurat," kataku setelah duduk tegak dan menghapus kasar cairan tak tahu diri ini.

Papah menyunggingkan senyumnya serta mengelus pelan pipi sebelah kananku lantas berucap, "Papah gak akan kasih jawaban atas apa yang kamu tanyakan. Tapi Papah mau kamu jawab satu pertanyaan." Keningku mengkerut tak mengerti tapi anggukan kecil kuberikan sebagai jawaban.

"Kalau kamu beli alat make up pasti kamu coba dulu, kan? Ambil contoh lipstick. Apa pada saat kamu memutuskan untuk membeli barang itu, kamu mau menerima barang yang dipajang dan sudah dicoba banyak orang? Atau justru meminta pelayan toko untuk mengambilkan lipstick yang baru dan masih disimpan dalam gudang?"

Dengan mantap tanpa pikir panjang aku langsung menjawab, "Ya minta pelayannya ambil barulah, Pah. Rugi dong aku sudah beli mahal-mahal tapi dapet bekas orang." Papah semakin tersenyum lebar dan itu malah membuatku kebingungan.

"Papah juga sama kaya kamu. Gak mau rugi. Papah yang kasih kamu limpahan kasih sayang dan juga memenuhi semua kebutuhan finansial yang kamu butuhkan. Masa iya kamu juga yang tega giring Papah ke neraka gara-gara gak tutup aurat. Enak di kamu gak enak di Papah dong."

Penjelasannya sederhana tapi nusuk tepat ke dada. Sampai berhasil membungkam mulutku yang terkadang tak bisa diam. Kenapa aku tak memikirkannya sampai sejauh ini?

Pikiranku terlalu sempit hingga lupa akan kewajibanku untuk melindungi Papah dari panasnya api neraka. Betapa kejam dan jahatnya aku selama ini. Mendorong langkah Papah semakin dekat ke neraka karena kebodohan dan keangkuhan hatiku.

Gelar anak durhaka tak tahu diri rasanya sangat pantas disematkan untukku, bahkan mungkin tidak setimpal dan masih kurang. Sangat kurang lebih tepatnya.

Dengan mantap aku menggenggam tangan Papah, menatap tepat kedua manik mata teduhnya. "Bismillah, Adara mau kabulin permintaan Papah," kataku penuh kesungguhan.

Sudah cukup selama ini aku memupuk dosa yang selalu kusepelekan. Mata dan hatiku seakan dibuka lebar-lebar. Perkataan sederhana yang Papah lontarkan seperti cambuk yang begitu kuat menghantam.

Meninggalkan bekas dan rasa sakit yang begitu mendalam. Bekasnya mungkin bisa hilang, tapi rasa sakit yang ditimbulkan akan selalu terbayang.

Sesuatu yang kuanggap tak berarti apa-apa dan tak akan berdampak buruk di masa yang akan datang, justru menjadi boomerang yang berbalik menyerang.

Mata Papah terlihat berkaca-kaca dan kembali merengkuh tubuhku lebih erat. Air mata yang sedari tadi coba kutahan kembali luruh tanpa persetujuan.

Baru kali ini aku melihat mata teduh nan tajam Papah mengeluarkan cairan bening tersebut. Kuharap itu adalah air mata kebahagiaan dan bukanlah air mata kesedihan.

"Salat malam dan mohon petunjuk-Nya untuk memantapkan hati kamu, Nak. Apa pun jawaban yang nanti kamu dapatkan Insya Allah akan Papah ridhoi," bisiknya di balik punggungku.

~TBC~

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang