14-Rumah Baru

1.7K 194 17
                                    

"Pernikahan kita hanya sebatas status yang berjalan dalam kurun waktu satu bulan setengah saja."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Rumah minimalis yang hanya terdiri dari satu lantai, tapi memiliki halaman yang lumayan luas dan dilengkapi dengan sebuah taman serta kolam renang di bagian samping. Memasuki area dalam langsung disuguhi dengan dinding ruangan yang didominasi oleh warna biru muda, warna kesukaanku.

Sebuah ruang tengah dengan dilengkapi sofa, televisi, dan beberapa furniture yang seperti baru keluar dari toko. Tidak memiliki sekat penghalang pada setiap ruangan. Aku sangat menyukai rumah yang Papah dan Mamah berikan, tapi ada satu hal yang sangat-sangat tidak kusukai. Rumah ini hanya memiliki satu kamar saja. Dan aku takkan pernah sudi untuk tidur dalam satu ruangan yang sama dengannya.

Mamah dan Papah seperti sudah mengetahui akal bulusku yang berencana akan tidur dalam kamar berbeda. Pupus sudah harapanku dan bagaimana dengan nasibku nanti malam? Mamah dan Papah memang paling bisa membuatku kesusahan dan sengsara.

Aku dan Arda memasuki kamar satu-satunya yang bisa kita tempati. Dia seperti kerepotan karena membawa koper besarku yang berjumlah dua dan juga tas punggungnya. Aku hanya membawa sebagian bajuku saja, dua koper untuk satu bulan setengah rasanya sudah lebih dari cukup. Kalau pun kurang, gampang tinggal ambil ke rumah atau beli yang baru.

"Jangan bongkar-bongkar koper gue. Beresin aja baju lo sendiri," kataku setelah dia berhasil meletakkan barang-barang bawaannya ke sudut kamar.

Arda tak menyahut dan justru sibuk mengeluarkan pakaian dia yang jumlahnya tak seberapa itu. Untuk ukuran seorang laki-laki dia cukup rapi dan bisa diandalkan, lihat saja pakaiannya yang terlipat rapi di dalam tas. Dia menata beberapa helai pakaian yang hanya terdiri dari kaus, celana, kemeja, perlengkapan salat, dan juga seragam kerja.

"Biasa saja dong lihatinnya. Gak usah kaya mau nelen orang kaya gitu," ucapnya dengan tubuh yang sengaja dia putar agar menghadapku.

Aku langsung gelagapan karena tertangkap basah tengah memperhatikan kegiatannya. Eh salah, bukan memperhatikan tapi lebih tepatnya sekilas melihat. Nah iya itu lebih tepatnya.

"Pede banget sih lo jadi orang."

Dia terkekeh sebelum akhirnya duduk di tepi ranjang yang berseberangan dengan tempatku berada. Dia yang duduk di bagian kiri kaki ranjang dan aku duduk di bagian kanan kepala ranjang.

"Apa kamu yakin mau menggelar pesta pernikahan?" tanyanya dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan.

Dengan cepat aku menggeleng. "Ya gaklah," jawabku penuh kesungguhan.

Arda menghela napas sejenak sebelum berucap, "Terus apa maksud dari kata 'terserah' kamu?"

Aku sudah menduga dia akan bertanya seperti itu. Tapi aku malas untuk berbincang-bincang dengannya. Melihat wajahnya saja sudah berhasil membuatku mual tak ketulungan, apalagi sekarang harus berbicara empat mata dalam satu ruangan yang sama. Kalau ada cermin perubah bentuk wajah pasti aku akan membelikannya untuk Arda. Setidaknya mataku bisa sedikit bening karena tampangnya yang lumayan enak dilihat.

Aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. "Gue itu gak mau memperpanjang obrolan sama Bokap Nyokap gue tentang begituan, ya sudah daripada nambah ribet jawab aja kaya gitu. Gue juga gak mau langsung nolak usulan mereka, karena gue tahu pasti omongan gue gak pernah mereka anggap sama sekali. Terus lagi gue juga gak tega kalau harus buat mereka kecewa, gini-gini gue tahulah caranya bersikap sama orang tua. Gak tahu diri banget kalau sampe gue buat mereka kecewa karena tingkah laku gue," jelasku dengan mata yang sesekali melihat ke arahnya.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang