31-Fakta Mengejutkan

1.4K 168 0
                                    

"Lebih baik dipendam daripada diungkapkan tapi mengundang kesakitan."

-Lukman Hamzah Ghaffar-

•••

Aku mengeluarkan segala sumpah serapah pada Lukman yang dengan lancang menggiringku pulang. Sudah tahu saat ini aku sedang kesal dan ingin menangkap basah lelaki tak tahu diri itu. Tapi Lukman dengan tanpa pikir panjang melarang dan menggeretku agar memasuki mobil. Heh! Semakin hari Lukman bersikap tak setia kawan. Bukannya mendukungku, dia malah berlaku hal yang bertolak belakang.

"Sabar, Adara. Apa yang kamu lihat belum tentu sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Mungkin saja mereka teman lama? Ya siapa yang tahu, kan? Berpikir positif dong, Dar," tuturnya dengan kedua tangan sibuk mengemudikan mobil dan kepala yang sesekali menoleh ke arahku.

Sabar? Satu kata itu sama sekali tak mempan jika ditujukan untukku. Sudah tahu aku ini perempuan berkelakuan bar-bar yang tidak bisa bersikap santai. Pakai acara disuruh sabar segala, ya emosilah. Bukannya sembuh yang ada malah makin kambuh.

"Kamu cemburu, Dar?"

Mataku membulat sempurna, hampir keluar dari tempatnya. Enak saja dia kalau berucap, apa tuh mulut tak ada saringannya? Tak mungkinlah seorang Adara Mikhayla Siregar terkena virus manusia-manusia yang minim akan rasa percaya diri. Buat apa juga cemburu dengan lelaki modelan Arda? Tak ada gunanya sama sekali.

Aku hanya merasa tersinggung dengan kelakuan bejat Arda yang sudah berani menyelingkuhiku. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Bisa turun derajat kalau sampai hal itu terjadi. Kalau aku yang menduakan Arda, itu biasa. Memang sudah seharusnya seperti itu, lain cerita kalau dia yang bermain api. Akan kubakar dia hidup-hidup.

"Cemburu? Sama laki kaya Arda? Gak ada yah." Aku berkata dengan gaya songong andalan. Takkan mungkin aku menaruh rasa cemburu pada makhluk sejenis dia.

"Lalu?"

"Ya gue gak terimalah. Gak ada sejarahnya seorang Adara Mikhayla Siregar diselingkuhin. Turun kasta dong gue," jawabku begitu enteng tanpa beban.

"Terus kenapa tadi kamu mau labrak mereka? Aku kira bakal ada adegan tarik-tarik hijab," cetusnya yang langsung kusambut dengan gelak tawa.

"Kebanyakan nonton sinetron lo," celaku tanpa ampun menertawakan Lukman yang justru memasang wajah datar. Tuh orang lempengnya emang kebangetan.

"Gak lucu, Adara!"

Aku langsung mingkem saat mendapati nada suara tak santai milik Lukman. Hidupnya terlalu serius, tak bisa diajak becanda sama sekali. Tapi aku kadang heran jika dia yang tiba-tiba melontarkan guyonan. Takutnya dia kesambet gitu. Kan bahaya.

"Selow aja kali, Man." Dia hanya melirik sinis ke arahku.

"Jangan bilang lo kali yang cemburu, karena cem-ceman lo diembat si ustaz kaleng-kaleng," sambungku.

Tak lama dari itu suara ban yang beradu dengan aspal terdengar sangat mengilukan, Lukman menginjak pedal remnya secara brutal.

"Mulut kamu gak bisa dijaga dikit apa? Sama suami sendiri kok kaya gitu." Dia malah mempertanyakan perihal julukan yang kuberikan pada Arda. Bukannya menjawab pernyataanku saja. Sungguh sangat tak berbobot apa yang baru saja dia katakan.

Suami, suami, suami, terus saja sebut Arda dengan nama seperti itu. Apa perlu aku ambilkan pengeras suara, agar dia lebih puas berkoar-koarnya? Sudah tahu aku dan Arda bertahan hanya karena kontrak saja, tapi dengan tanpa dosa dia melontarkan kata itu. Aku sangat muak dan tak sudi untuk memanggilnya dengan panggilan yang demikian.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang