7-Ujian Pertama

1.9K 250 8
                                    

"Berbicara tanpa berkaca sama saja seperti meletakkan kotoran tepat di depan muka."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Keputusan besar telah kuputuskan. Perjuanganku masih panjang dan ini adalah sebuah permulaan. Setelah mengatakan kesiapan pada Papah aku tak mengikuti sarannya karena aku takut kembali goyah.

Belum lagi aku memang tak begitu tahu perihal salat malam yang Papah perintahkan. Aku sangat awam perihal agama dan segala jenisnya, yang kutahu hanya sebatas salat wajib dan puasa ramadhan saja. Untuk ibadah sunnah dan kawan-kawannya aku tak begitu familiar dan mengetahui dengan detail. Hanya sebatas tahu sekilas saja.

Batinku saling bertempur menyuarakan dua sisi yang berlainan hingga membuat keteguhanku kembali melemah. Tak ingin melanjutkan apa yang sudah kukatakan pada Papah. Dan justru ingin menarik ulang kata-kata yang sudah kukeluarkan. Kalimat yang Papah lontarkan membuat hatiku semakin bimbang.

"Masa iya kamu juga yang tega giring Papah ke neraka gara-gara gak tutup aurat."

Untaian kata sederhana itu begitu terngiang-ngiang dalam ingatan. Menyadarkanku untuk kembali melanjutkan apa yang sudah kuputuskan. Menyerah sebelum berjuang bukanlah sifatku yang begitu suka dengan tantangan.

Aku akan mencobanya dengan harapan Allah memberikanku ke-istiqomah-an. Aku tak berani mengatakan bahwa aku 'berhijrah', kata itu terlalu berat dan aku merasa takkan sanggup untuk menggapainya. Aku hanya mencoba memperbaiki diri ke arah yang lebih baik lagi.

Jangan kira aku langsung memakai baju gombrong seperti waktu itu. Tidak sama sekali. Aku hanya mengenakan celana panjang berbahan jeans, dan juga kemeja lengan panjang, sehelai kain segiempat yang sengaja kulipat seperti segitiga menutup bagian kepala dan menyembunyikan rambut indahku.

Aku belum bisa menggunakan pakaian syar'i yang memang seharusnya kupakai. Jujur itu masih sulit dan berat. Dengan menggunakan pakaian tertutup walau masih menampakan bagian kaki jenjangku saja sudah berperang mati-matian.

Aku ingin menikmati prosesnya, step by step. Semua butuh proses dan aku tidak mungkin bisa secepat itu meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikannya dengan kebiasaan baru. Itu bukanlah hal yang mudah. Sangat sulit.

"Apa kamu yakin pergi ke kampus dengan pakaian seperti itu? Mamah gak mau kamu bermain-main dengan aturan agama. Bongkar-pasang hijab bukan perkara sepele, itu dosa besar. Mamah gak mau besok atau lusa kamu kembali berubah pikiran," tutur Mamah saat aku baru saja duduk di kursi meja makan. Raut cemas dan khawatir sangat jelas di sana.

"Doain yang terbaik aja kali, Mah bukan malah buat Adara drop," sahutku seraya menerima piring yang sudah beliau isi dengan nasi dan lauk pauk.

Mamah membuang napasnya kasar dan berujar, "Keputusan kamu terlalu mendadak dan jujur itu buat Mamah takut. Takut kalau itu hanya keinginan spontan karena kamu gak bisa nolak permintaan Papah." Aku diam tak bisa menjawab. Memilih untuk memasukkan nasi ke dalam mulut adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.

"Papah harap itu adalah murni keinginan hati kamu. Bukan karena Papah yang mendasari alasan kamu untuk menutup aurat." Perkataan Papah yang baru saja datang dari kamar membuatku menoleh ke belakang.

"Adara gak mau dipusingkan dengan hal-hal semacam itu," kataku sembari menatap Mamah dan Papah bergantian.

Aku bisa melihat ada keraguan serta ketakutan dari manik mata kedua orang tuaku. Jangankan mereka, aku saja masih meragukan kesungguhanku. Baru hitungan menit saja keringat sudah bercucuran dan memintaku untuk segera melepas penutup kepala ini.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang