27-Lukman Hamzah Ghaffar

1.2K 166 2
                                    

"Aku gak ada kuasa untuk menghakimi kesalahan Ibuku, biarkan itu menjadi urusan dia sama Allah. Yang terpenting saat ini aku bisa berbakti dan memperlakukannya dengan sebaik mungkin."

-Lukman Hamzah Ghaffar-

•••

Rencana Lukman yang ingin mengantarkanku pulang urung dilakukan, karena ada sebuah panggilan yang berasal dari ibu tercintanya. Aku bernapas lega saat dia kembali berputar arah dan melanjutkan perjalanan kami yang tadi tersendat-sendat. Tak ada lagi obrolan di antara kami berdua, kami saling bungkam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku masih kesal dan jengkel dengan tindakannya yang di luar dugaan. Biasanya dia tidak akan ambil pusing perihal masalah pribadi orang lain, tapi entah mengapa sekarang dia malah bersikap lain.

Lukman membukakanku pintu dan kami jalan beriringan menuju ke dalam restoran, tempat pertemuan akan dilangsungkan. Tak ada drama saling bergandengan tangan, karena memang aku sangat anti dan menghindari hal-hal yang demikian. Suasana restoran cukup sepi dan tak begitu dipadati orang. Aku melihat ada seorang wanita yang usianya hampir sama dengan Mamah, beliau menggunakan baju kurung dengan khimar lebar nan panjang.

Mungkin itu adalah ibunya Lukman, aku heran mengapa orang yang jika dilihat dari segi penampilan sangat begitu alim bisa berlaku tega dan kejam menelantarkan anaknya begitu saja di panti asuhan. Lantas sekarang pada saat anaknya sudah tumbuh dewasa dengan tanpa dosa dia kembali dan ingin memonopoli kehidupannya. Dan bodohnya Lukman mau saja memaafkan serta menerima kembali ibunya.

"Assalamualaikum, Bu," salamnya sebelum dia mengambil alih tangan kanan wanita berusia setengah abad itu.

Senyum manis terpatri apik di wajah beliau, terlihat sangat tulus. "Wa'alaikumussalam, Nak," katanya begitu lembut.

Ini mah bentukannya kaya ibu si ustaz kaleng-kaleng, alamat kena damprat habis-habisan aku. Salah pilih kostum. Harusnya tadi aku memilih baju gombrong saja.

"Kenalin, Bu ini Adara calon istri Lukman," ucap Lukman dengan lirikan mata ke arahku.

Aku memberikan senyum terbaik yang kumiliki dan berniat untuk menyalami beliau. Tapi aku dibuat kesal karena tak mendapatkan respons positif darinya, beliau malah menyuruh kami untuk duduk dengan nada suara judes dan memuakkan. Ke mana perginya sifat yang tadi beliau tampilkan?

"Jangan seperti itu, Bu," ujar Lukman yang sepertinya sangat paham dengan suasana hatiku yang sedang tak baik ini.

Beliau menatapku sinis dan tanpa sungkan menelisikku dari atas sampai bawah. Aku sangat risih dengan yang sedang beliau lakukan. Aku bukanlah perampok yang patut untuk dicurigai.

"Ibu mengajak kamu bertemu di sini untuk mengenalkan kamu dengan gadis pilihan Ibu. Bukan malah membawa gadis modis tak tahu aturan ini." Aku sangat tersinggung dengan perkataan pedas dan sinisnya.

"Namanya Adara, Bu," sela Lukman membelaku. Tapi tanggapan yang wanita senja itu tunjukan sangatlah membuatku naik pitam. Beliau melihatku dengan sorot merendahkan, seakan-akan aku ini wanita kelas bawah yang tak layak untuk bersanding dengan putranya.

"Saya memang wanita modis yang tak bisa berpakaian layaknya seorang wanita muslimah kebanyakan. Tapi setidaknya saya masih bisa menjaga lisan dan perkataan agar tak menyinggung dan menyakiti perasaan orang." Aku berkata dengan sangat penuh penekanan. Aku ingin memperlihatkan pada beliau bahwa aku tak pantas diperlakukan seperti itu.

Sekarang aku paham mengapa beliau tega menelantarkan Lukman begitu saja. Beliau seperti bersembunyi di balik pakaian syar'i yang merupakan identitas dari seorang wanita muslim. Kata demi kata yang keluar dari mulutnya begitu menyakitkan dan sangat tidak mencerminkan dengan apa yang tengah dia gunakan.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang