40-Masih Adakah Kesempatan?

2K 210 21
                                    

"Aku terlalu sibuk memikirkan rasa sakitku, tanpa pernah sedikit pun memikirkan perasaan orang-orang di sekitarku."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Setelah perbincangan cukup serius tadi baik aku maupun Arda sama-sama terdiam dan menikmati keheningan yang tercipta. Aku lebih memilih untuk merenung dan menyelami bagian hati terdalamku. Sedangkan Arda memilih untuk berbincang dengan Rabb-Nya. Kebimbangan dan kegamangan itu kian menjadi kala lantunan Kalam Illahi yang Arda gaungkan mengusik indra pendengar. Apakah berpisah menjadi pilihan terbaik untukku dan juga Arda?

Menyaksikan bagaimana taatnya Arda tanpa sadar melunturkan rasa percaya diriku. Bagaimana mungkin dia yang Allah rancang dan ciptakan sebagai hamba taat beragama, harus disandingkan denganku yang begitu jauh dari ajaran agama. Aku merasa tak pantas jika terus berada di sampingnya. Arda berhak untuk mendapatkan wanita yang jauh lebih dari segalanya dibandingkan aku. Aku harus tahu diri bahwa kehadiranku dalam hidupnya hanyalah menjadi benalu yang menyusahkan dan merepotkan.

Aku tak pernah menganggapnya sebagai imam keluarga, bahkan aku tak segan menghina serta merendahkan dia dengan makian dan kata-kata sadis. Seharusnya aku dan dia memang tidak bertemu dan bersatu dalam pernikahan dadakan ini. Tak ada cinta dan kasih sayang di antara kami berdua, semuanya begitu semu dan dijalankan dengan sebuah keterpaksaan dan atas dasar sebuah kesepakatan. Mengakhirinya adalah sebuah keharusan dan memang sudah semestinya sejak dulu kita lakukan. Tak ada gunanya bertahan hanya bermodalkan tak ingin saling mengecewakan orang tua masing-masing.

"Jangan terlalu dibawa beban. Kamu masih punya cukup waktu untuk berpikir, kamu tenang saja aku pasti akan membantu kamu untuk bicara sama orang tua kita. Aku yakin mereka akan bisa menerima dan memahami keputusan kita," tuturnya setelah dia meletakkan Mushaf dan peci di nakas. Sunggingan di kedua sudut bibirnya tak pernah pudar sama sekali. Sepertinya dia memang sudah memasrahkan sepenuhnya pada Sang Illahi Rabbi.

"Apa yang mendasari terjadinya pernikahan kita?" Rasa penasaranku kian naik ke permukaan. Tujuan awalku setuju dengan pernikahan kontrak ini adalah untuk mengorek informasi dari Arda. Setidaknya jika aku mendengar secara langsung alasannya, itu bisa membuat hatiku sedikit lebih tenang.

Dia berjalan dan duduk di tepi ranjang yang berseberangan denganku. Menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Lillah, Dar. Semua ini terjadi karena kehendak Allah, dan aku pun menerima permintaan orang tua kamu karena Allah. Tapi sayang aku menjalani pernikahan ini tanpa campur tangan-Nya. Inilah kesalahan besar yang sudah aku lakukan."

"Tapi kenapa lo harus nikahin gue secara diam-diam? Apa gak ada cara lain yang lebih manusiawi lagi?" Gejolak dalam dadaku bergemuruh hebat. Pertanyaan-pertanyaan yang sejak dulu sangat ingin kukeluarkan akhirnya tersampaikan langsung pada orang yang tepat.

Selama ini Mamah dan Papah tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Aku ingin jawaban yang lebih mendetail, setidaknya jika memang perpisahan ini benar-benar terjadi, rasa penasaranku pun bisa sedikit terobati.

Dia mengukir senyum tipis sebelum berucap, "Akad itu berlangsung antara pihak laki-laki dan wali dari calon mempelai perempuan. Memang sudah seharusnya seperti itu, karena aku dan kamu belumlah menjadi mahram yang pantas untuk disandingkan dan menjadi bahan tontonan---"

"Tapi kan seharusnya diobrolin dulu sama gue? Bukan langsung ngadain akad gitu aja." Dengan semangat menggebu aku memotong perkataannya.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang