64-Jujur

1.3K 142 5
                                    

"Sejatinya apa yang kita miliki di dunia adalah sebuah titipan yang bisa kapan pun diambil oleh pemilik-Nya."

-Arda Nazma Dewanda-

•••

Manis pahit kehidupan sudah pasti semua orang rasakan. Sangat tidak mungkin jika seseorang tak pernah mengalami sebuah kepahitan hidup dan juga takdir yang terkadang jauh dari harapan. Semula memang menentang tak setuju, bahkan secara terang-terangan menyuarakan keberatan. Tapi lambat laun semua itu sedikit demi sedikit mulai berubah dan membuatku bisa menerimanya dengan penuh kelapangan.

Layaknya secangkir kopi yang begitu banyak digandrungi orang-orang. Rasa pahit yang ditimbulkan justru menambah kenikmatan dan sensasi yang berbeda dari jenis minuman lainnya. Begitu pula dengan hidupku yang sudah banyak diwarnai dengan banyak drama tak berkesudahan. Masalah datang silih berganti menghampiri tanpa henti. Namun atas izin-Nya aku mampu melewati semua itu.

Aku berjalan dari ruang makan menuju kamar dengan sebuah nampan berisi makanan dan minuman, lengkap dengan obat-obatan dan juga vitamin yang Arda perlukan. Pintu yang sedikit terbuka memudahkanku untuk memasuki kamar yang tengah dihuni oleh Arda. Terlihat dia tengah duduk bersandar di atas pembaringan.

"Makan dulu, Mas terus minum obatnya," kataku setelah terduduk tepat di hadapannya.

Dia mengangguk singkat sebagai jawaban. Dan aku pun mulai mengambil ancang-ancang untuk menyuapinya. Tapi gerakan tanganku melayang di udara karena mendengar penuturan Arda.

"Aku bisa sendiri, Dar," katanya dengan tangan terampil mengambil alih nampan yang berada dalam pangkuanku.

"Biasanya juga kan aku yang suapin. Kok sekarang gak mau sih?" ocehku yang dia balas dengan kekehan ringan.

"Aku gak mau ngerepotin kamu," ucapnya lalu mengambil gelas berukuran tinggi berisi air putih dan meminumnya hanya satu tegukan saja. Terlihat bibirnya berkomat-kamit dan setelahnya satu sendok nasi beserta sayur bening yang kubuat sudah meluncur masuk ke dalam kerongkongan.

"Ish pake acara ngerepotin segala. Aku ini istri kamu sudah jadi tanggung jawab dan kewajiban aku untuk memenuhi semua kebutuhan kamu," tuturku sedikit kesal. Diberi perhatian lebih kok malah nolak!

"Mau?" tawarnya yang dengan tanpa dosa menyodorkan sesendok makanan ke depan mulutku.

Aku menahannya dan berkata, "Gak ah itu kan buat kamu. Kalau aku mau aku bisa ambil sendiri."

"Makan satu piring berdua itu romantis lho, Dar. Bahkan Nabi saja melakukan hal yang sama dengan istrinya. Gak mau gitu kamu ngamalin Sunnah Nabi?" ocehnya.

Aku mendengus dan menjawab, "Bukan sepiring berdua, tapi semangkuk berdua. Ah mata kamu sudah mulai agak-agak."

"Iya... deh... iya... terserah kamu saja," ungkapnya dengan tangan yang kembali berniat ingin menyuapiku.

Aku tersenyum samar dan segera melahap habis makanan yang disodorkan olehnya. Dengan cepat aku mengambil alih sendok yang berada di tangannya. "Nah sekarang giliran bayi besar yang makan. Ayo buka mulutnya, aaaaaa," ucapku seperti seorang ibu yang hendak menyuapi anaknya.

Arda tertawa sebelum menerima suapan yang kuberikan. Hal itu kami lakukan secara bergiliran sampai makanan dalam mangkuk tandas tak tersisa. Arda menyodorkan air putih yang tadi hanya dia minum satu tegukan saja padaku. Tapi aku menolaknya karena air tersebut untuknya minum obat.

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang