65-Tutup Buku

3.2K 196 39
                                    

"Allah takkan pernah membiarkan hamba-Nya terlunta-lunta tanpa titian. Dia pasti akan menurunkan bala bantuan untuk menyadarkan setiap hamba-Nya yang tersesat dan tak tahu arah jalan yang benar."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Setiap orang memiliki kisah dan perjalanan hidup masing-masing, tak ada yang namanya kisah indah tanpa celah. Karena pada kenyataannya setiap makhluk yang hidup pasti merasakan apa yang namanya ujian, entah berupa kenikmatan semu yang menyesatkan atau persoalan yang datang silih berganti tanpa henti. Sejatinya semua yang terjadi di dunia ini adalah cobaan yang kelak akan kita pertanggungjawabkan.

Pernah dikecewakan oleh kenyataan yang tak sesuai dengan harapan hingga lupa bahwa itu adalah sebuah ketetapan dan takdir yang harus kita terima dengan penuh kelapangan. Hidup dalam ketidakadilan itulah yang sering kukeluhkan dan agung-agungkan. Berbagai macam cara sudah sering kulakukan agar mampu terhindar dan terbebas dari jerat penderitaan yang membelenggu.

Setan seperti beramai-ramai berbisik agar aku menyalahi aturan Tuhan, dan dengan bodohnya aku mengikuti jejak makhluk pengganggu dan perusuh itu. Menodai sebuah ikrar suci pernikahan hanya karena selembar kertas bermaterai seharga Rp. 6000, 00. Sungguh harga yang sangat rendah dan tak setimpal dengan balasan yang kelak akan kuterima di akhirat. Menjalani biduk rumah tangga dalam lingkup keterpaksaan dan bertahan hanya karena sebuah kesepakatan kerja sama. Itu adalah kesalahan fatal yang pernah kulakukan, bukan lagi hukum negara yang kutentang melainkan hukum Allah, Sang Maha Pemilik Semesta Alam.

"Malah bengong di sini, Mamah sama Papah sudah nunggu Adara." Aku mengalihkan pandangan yang semula menatap cermin kini sudah berpindah haluan ke bibir pintu di mana imamku berada.

Dia berjalan menghampiriku dan berdiri tepat di sampingku. Aku senang melihatnya bisa kembali berpijak dan bertumpu pada kakinya sendiri. Serangkaian terapi yang dia jalani ternyata membuahkan hasil yang maksimal dan tidak mengecewakan. Alhamdulillah kini dia bisa berjalan normal seperti sedia kala.

"Iya sebentar, Mas aku tuh lagi dandan dulu biar gak malu-maluin," belaku dengan sunggingan.

Dia malah membalasnya dengan kekehan. "Dandannya kalau kamu lagi di rumah saja, kalau mau keluar mending gak usah," cetusnya.

Aku mencebik kesal. "Gitu amat sih, Mas sama istri sendiri. Lagian aku dandan juga gak bakal narik perhatian kok, kan aku pake cadar nih," kataku dengan memperlihatkan sebuah niqab tepat di depan wajahnya.

"Nah karena itu jadi kamu gak perlu susah-susah make up, kan gak kelihatan juga." Sahutan yang dia berikan justru membuatku kesal bukan kepalang.

Aku mengentakkan kaki ke lantai. "Hari ini tuh aku wisuda, masa gak dandan sama sekali sih. Kaya mayat hidup nanti aku, pucat!"

Dia malah tertawa dengan begitu puasnya dan mengacak-acak rambutku yang masih tergerai. "Sengaja biar gak ada yang lirik-lirik kamu," tuturnya begitu santai dan enteng.

Aku mencubit pinggangnya lumayan kencang, dan dia mengaduh kesakitan. "Itu tuh yang namanya pelit plus egois. Bukannya kamu bangga punya istri cantik, ini malah diumpetin. Di sosmed banyak tuh wanita bercadar sama suaminya yang mendadak viral dan jadi selebgram. Kan lumayan, Mas bisa jadi artis dadakan."

"Istriku bukan konsumsi publik." Empat kata itu membuatku terdiam beberapa detik. Aku menatapnya penuh tanya tak mengerti. Konsumsi publik? Maksudnya?

"Aku gak mau pajang foto kamu di media sosial karena aku gak mau rugi. Aku yang susah-susah berjuang buat dapetin restu dari orang tua kamu, tapi pada saat kamu sudah resmi jadi istri aku, dengan gampangnya aku sebar luasin foto kamu. Enak banget mereka bisa menikmati hasil jerih payahku!"

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang