37-Terungkap

1.3K 164 2
                                    

"Kebaikan macam apa yang membuat gerakku terkekang dan merasa sangat tertekan. Tidak ada kebahagiaan yang sejenis itu."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Kalian tahu apa yang saat ini tengah kurasakan dan yang sedang kupikirkan? Baru saja aku merasa diterbangkan hingga melayang di langit bersama bintang-bintang, tapi detik berikutnya aku dijatuhkan tanpa pemberitahuan dan pemberitaan langsung ke dasar jurang terdalam. Kesal, marah, sakit, dan tidak bisa menerima kenyataan menjadi satu kesatuan yang saat ini tengah bersemanyam dalam diriku.

Rasanya aku ingin menarik semua perkataanku yang tadi sempet memuji-muji dan mengatakan kalimat terima kasih untuk Mamah. Apa-apaan ini? Beliau dengan seenak jidat memutuskan hal yang sangat besar untuk kehidupanku di masa yang akan datang. Mengakhiri pernikahan kontrak, dan terlibat pernikahan sungguhan bersama Arda? Sekarang saja aku sudah sangat ingin terbebas darinya, dan dengan enteng Mamah memintaku untuk memperbaharui pernikahan ini. Aku takkan pernah sudi.

"Adara bisa leluasa keluyuran sama banyak pria, karena dia merasa aman. Orang-orang menganggap dia masih lajang, padahal dia sudah bersuami bahkan tengah mengandung seorang bayi," tutur Mamah.

Dengan semangat 45 aku langsung menyela. "Mamah gak bisa ngatur-ngatur hidup Adara kaya gitu dong. Adara ini manusia bebas, bukan budak yang harus tunduk patuh sama majikannya. Mamah jangan bersikap egois seakan-akan Adara mau mengikuti perkataan Mamah. Adara bukan orang seperti itu!"

"Mamah ngelakuin semua ini demi kebaikan kamu," sela Mamah dengan suara tegasnya.

Aku benci Mamah yang selalu bersembunyi di balik kalimat itu. Kebaikan macam apa yang membuat gerakku terkekang dan merasa sangat tertekan. Tidak ada kebahagiaan yang sejenis itu.

"Bukan kebahagiaan Adara, tapi kebahagiaan Mamah lebih tepatnya. Mamah bahagia di atas penderitaan Adara dan itu fakta yang sebenarnya." Aku tak ingin kembali kalah dari beliau. Bagaimanapun caranya aku harus segera mengakhiri semua ini.

"Kamu keras kepala, Adara!"

"Mamah egois!" sengitku yang tak segan membalas tatapan tajamnya.

"Gak ada orang tua yang berniat untuk menjerumuskan anaknya pada keburukan. Sebagai orang tua Mamah menginginkan yang terbaik untuk kamu."

"Iya Adara tahu, tapi itu hanya keinginan Mamah aja, gak dengan Adara." Apakah setiap orang tua sama? Memiliki sifat otoriter dan selalu memaksakan kehendaknya.

"Pernikahan kalian sudah jauh dari tuntunan agama, Mamah ingin mengakhirinya dan memperbaiki pernikahan kalian. Agar rumah tangga kalian bisa berjalan dengan sebagaimana mestinya. Kamu harus inget, Adara kalau sekarang kamu sedang mengandung, pikirkan tentang masa depannya. Apa kamu sanggup untuk merawat dia seorang diri? Apa kamu juga gak kasihan sama anak kamu karena kekurangan kasih sayang? Pikirkan baik-baik. Jalani apa yang saat ini ada di depan mata kamu, jangan pernah sok tahu dan mau mencoba hal baru yang kejelasannya masih abu-abu," tutur Mamah panjang kali lebar.

Yang beliau khawatirkan hanyalah nasib seorang bayi, yang jelas-jelas wujud dan bentuknya saja tidak terlihat sama sekali. Lalu apa kabar dengan kelangsungan nasibku yang sampai sekarang tak menemukan titik terang. Pembahasan Mamah terlalu jauh bahkan aku tak mau terlibat di dalamnya.

"Iya, Adara pikirkan secara matang. Ada satu nyawa yang memerlukan kasih sayang lengkap dari kedua orang tuanya---"

Dengan cepat aku memotong ucapan Arda, "Tutup mulut lo! Lebih baik lo diem dan jangan banyak komentar."

Matrealistis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang