15. BELLA (AGAIN)?
“Buruan, Kaila!” Seruan Vera untuk yang ketiga kalinya telah terdengar. Gadis itu kini telah berdiri di pintu kelasnya dengan mukena di tangannya.
Sedari tadi ia terus memanggil nama Kaila. Menyuruh sahabatnya itu agar bisa lebih cepat. Kaila yang saat bel berbunyi tadi masih menyelesaikan catatan yang diberikan guru, kini sedang sibuk mengambil mukena yang ia letakkan di dalam tasnya.
“Mukenanya ketindihan buku, Ver. Maaf jadi lama.” Vera berdecak. Jika saja perutnya belum terasa lapar, maka ia akan dengan sabar menunggu Kaila yang sangat lama.
“Lain kali mukenanya di taruh atas aja. Jadi kalo mau ngambil gampang.” Kaila nyengir. Mengangguk untuk mengiyakan ucapan Vera.
Tiba di mushola, tempat itu ternyata belum terlalu ramai. Azan pun baru berkumandang saat Kaila dan Vera telah duduk untuk melepas sepatu.
“Eh, itu suara yang azan udah beda lagi. Yang ini suaranya kaya yang azan biasanya ya.” Kaila berkata dengan nada penuh tanya.
“Udah dari seminggu yang lalu kali, Kai. Lo nya aja yang kemaren-kemaren lagi dapet, makanya nggak sholat. Itu orang udah balik sekolah lagi setelah dua minggu lebih gak berangkat gara-gara kecelakaan.” Vera menjelaskan sambil melepaskan kedua sepatunya.
Untuk sesaat Kaila menyempatkan matanya untuk melihat ke dalam mushola yang belum terlalu ramai. Terlihat dengan jelas seorang laki-laki yang sedang berdiri menghadap mic dengan sebelah tangan yang menutupi telinga. Wajah yang sama dengan yang ia lihat saat ia merasa jika suara muazin itu berbeda. Tapi, jika yang azan adalah orang yang sama, mengapa suara mereka jauh berbeda? Suara laki-laki yang azan hari ini terdengar sangat merdu, dengan kesan suara yang berat. Sedangkan suara azan yang Kaila dengar seminggu yang lalu masih suara seorang laki-laki yang berat namun ada sedikit serak yang khas.
“Kai!” Vera kembali menyebut nama Kaila untuk yang ke sekian kali hari ini. Gadis itu melihat Kaila yang malah melamun dengan tatapan yang masih tertuju pada seseorang yang baru saja menyelesaikan azan.
“Eh, iya maaf.” melihat raut wajah kesal Vera, Kaila justru nyengir. Merasa tak bersalah karena telah membuat sahabatnya itu menunggu.
Jamaah sholat zuhur gelombang pertama baru saja usai. Vera langsung melangkah keluar mushola dengan langkah cepat. Gadis itu berkata jika ia sudah kelewat lapar, jadi setelah ini ia akan langsung menuju ke kantin. Kaila ia biarkan kembali ke kelas sendirian karena tadi Kaila pun sudah mengatakan jika ia akan menyusul saja setelah meletakkan kembali mukenanya di kelas.
“Gue duluan ya, Kai. Keburu masuk.” Belum sempat Kaila menjawab, Vera sudah lebih dulu berlari secepat kilat menuju kantin. Hingga tak jarang gadis itu menabrak beberapa orang yang memadati jalan menuju ke mushola.
Setelah selesai memakai kedua sepatunya, Kaila mulai berdiri. Melangkah kembali ke kelas sendirian. Sesekali orang-orang yang mengenalnya menyapa, dan hanya dibalas dengan senyuman.
Tepat saat di ujung jalan yang menjadi jalan pemisah antara siswa laki-laki dan perempuan, Kaila dikejutkan dengan tabrakan pada bahu kirinya. Disusul dengan suara gaduh beberapa orang laki-laki. Setelah menoleh, ia bisa melihat empat laki-laki yang rambutnya masih basah, menandakan jika mereka juga baru saja selesai melaksanakan sholat.
“Eh. Sorry ya, Cantik. Temen gue gak sengaja nabrak lo. Dia emang gini kalo jalan, gak pernah liat jalannya. Yang dia liat cuma cewek yang menarik di mata, makanya bisa sampe nabrak elo.” Salah seorang laki-laki yang terlihat mempunyai warna kulit paling putih diantara keempat laki-laki itu berkata. Membuat Kaila perlahan menoleh, menatap satu per satu dari keempat laki-laki tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADEWA ✔️
Teen FictionKecelakaan yang menimpa Kaila dan neneknya menyebabkan kaki sang nenek dinyatakan lumpuh secara permanen oleh dokter. Sejak kecelakaan itu pula gadis itu tiba-tiba merasakan kehadiran bayangan misterius yang tak bisa dirasakan oleh orang lain. Bayan...