17. CALON MERTUA

954 72 0
                                    

17. CALON MERTUA

“Rendy.”

“Hadir Bu.” Laki-laki berkulit putih yang duduk di barisan paling kiri mengacungkan tangan setelah merasa namanya dipanggil oleh guru yang berdiri di depan kelas.

“Lo disuruh maju, Bambang! Bukan diabsen.” Laki-laki yang duduk sebangku dengan laki-laki berkulit putih tadi berkata sambil menggeplak kepala teman sebangkunya.

“Eh, emang iya?” Laki-laki berkulit putih itu berkata namun tetap melangkah ke depan.

“Belajar lagi kamu!” Kertas yang tadinya berada di tangan guru perempuan itu telah mendarat di kepala laki-laki yang tadi berjalan maju.

“Iya, Bu iya. Saya juga belajar kok.”

“Alasan. Kalau kamu belajar terus kenapa nilainya bisa segitu?” Laki-laki bernama Rendy itu berjalan kembali ke bangkunya setelah mendengar ucapan sang guru yang sebenarnya hanya ia anggap seperti kicauan burung.

“Berikutnya, Sadewa.” Laki-laki yang tadi menggeplak kepala Rendy kini berdiri. Berjalan maju ke depan kelas dengan langkah percaya diri.

“Kamu ya, udah Ibu bilangin kalau belajar itu jangan cuma pas mau ulangan aja.” Laki-laki bertubuh tinggi yang kini berdiri di depan guru perempuan itu berjengit saat tangan guru itu mendarat di kepalanya. Menyentil.

“Gak mau ulangan aja dia gak belajar, Bu. Apalagi pas mau ulangan.” Seorang laki-laki yang duduk di paling pojok belakang bersuara. Membuat seisi kelas tertawa kecuali sang guru dan laki-laki yang berdiri di depan tadi.

“Diam kamu, Deon! Kalian ini sama saja. Jadi jangan bilang seperti itu.” Lagi-lagi semua siswa di kelas itu tertawa, kecuali laki-laki yang disebut Deon oleh guru tadi.

“Kamu itu harusnya ngikutin jejak adik kamu gitu loh sekali-kali. Pinter, rajin belajar,” tutur guru perempuan berkacamata itu.

“Lah, kalau saya ngikutinnya cuma sekali-kali berarti nggak istiqomah dong. Nggak baik itu, Bu.”

“Ya kalau tau gitu berarti kamu harus selalu ngikutin jejaknya. Jangan cuma pinter pas ikut lomba aja. Karena nilai kamu bukan cuma ada di lomba yang kamu ikuti. Apalagi lomba yang kamu ikuti itu tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran yang diajarkan di kelas.”

“Iya, Bu, Insya Allah. Lagian juga siapa yang milih saya buat ikut lomba? Sekolah juga kan.” Tanduk tak kasat mata seakan telah muncul dari kepala guru perempuan itu. Ia cukup dibuat kesal dengan kelakuan siswanya yang satu ini. Bagaimana tidak, ucapannya selalu saja dijawab saat berbicara dengan siswa ini.

“Sudah-sudah. Sana kembali ke tempat duduk kamu. Jangan lupa belajar!” Ucapan tersebut hanya dijawab dengan gumaman tak jelas oleh laki-laki yang baru saja berjalan meninggalkan meja guru itu.

“Astagfirullah!” Laki-laki yang namanya disebut sebagai Sadewa oleh guru tadi memekik kaget setelah dirinya baru saja menduduki bangkunya.

“Kenapa lagi kamu?” Guru perempuan yang masih terus memanggil nama siswanya itu bertanya setelah mendengar suara pekikan laki-laki itu.

“Eh, nggak papa kok, Bu. Hehe.” Dewa membalas ucapan gurunya itu dengan cengirannya.

“Nape lo, kagetnya gitu amat?” Rendy, teman sebangku Dewa sedikit mendorong bahu Dewa saat bertanya.

SADEWA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang