21. KATA VERA
Satu jam kiranya Dewa berada di D'coffee. Setelah Kaila sempat memberinya kalimat yang cukup membuat pikirannya terusik tadi, Dewa langsung mengerjakan kembali soal yang diberikan Kaila sebelumnya dan mengerjakan soal tersebut dengan mengandalkan ingatan dan tanpa meminta bantuan google lagi.
Hingga kemudian Kaila datang dan menanyakan pekerjaannya. Gadis itu kembali duduk di tempatnya tadi dan langsung memeriksa pekerjaan Dewa setelah laki-laki itu menyelesaikannya.
“Nggak tanya google lagi 'kan?” tanya Kaila saat tangannya baru saja menyentuh buku Dewa.
“Gak kok, jadi maaf kalo ada yang salah.” Dewa menyeruput iced coffee yang baru saja ia pesan.
Kaila sesekali menganggukkan kepalanya saat melihat hasil pekerjaan Dewa. Dari tiga soal yang ia berikan, semua memang sudah terjawab. Hanya saja untuk soal nomor tiga masih terdapat banyak sekali coretan dan hasil yang belum tertulis.
“Bagus. Aku tau kamu itu sebenernya bisa, cuma kamu terlalu malas buat belajar. Iya 'kan?” Dewa nyengir sebelum akhirnya mengangguk, mengiyakan ucapan gadis di depannya.
“Kata Vera kamu juga sering ditunjuk sekolah buat ikut lomba. Tapi dia juga bingung, katanya kamu itu sering banget bikin ulah, tapi kok bisa dipilih sekolah. Aku sih sama sekali gak tau kalau kamu sering dipilih buat lomba kayak gitu.” Baru saja Kaila membuka mulutnya, hendak meneruskan ucapannya ketika suara Dewa memotongnya.
“Kok semuanya kata Vera sih? Emang lo gak pernah tau tanpa dikasih tau Vera?” Kaila menggeleng polos membuat Dewa menatapnya kesal.
“Jangan bilang kalo lo juga gak pernah tau gue sebelum gue bantuin lo ke UKS waktu itu?” Lagi-lagi Kaila mengangguk. Dan itu semakin membuat Dewa kesal.
“Gini ya, Kaila Oktaviana. Gue emang sering dipilih sekolah buat ikut lomba, tapi bukan lomba di bidang akademik. Gue lebih sering dipilih buat ikut lomba yang non akademik. Kaya tadi misalnya, gue dipilih buat ikut lomba azan. Waktu itu juga gue sempet dipilih buat ikut turnamen voli pas kelas sebelas. Jadi kalo lo suruh buat ngerjain soal gini juga gue gak bakal paham.” Kaila mengangguk. Baru mengetahui jika lomba yang dimaksud bukanlah lomba salam bidang akademik.
“Tapi emang kamu bener-bener gak paham tentang materi pelajaran?” Kaila bertanya lagi. Dewa mengangguk sambil kembali menyesap ice coffeenya.
“Terus, kenapa kamu bisa naik kelas kalau kamu sama sekali gak paham materi pelajaran?” Dewa tersenyum. Ia sudah menduga jika pertanyaan tersebut akan terlontar dari mulut gadis di hadapannya.
“Lo tau solidaritas kan?” tanya Dewa setelah kembali meletakkan gelasnya, sementara Kaila mengangguk. “Nah itu yang bikin gue naik kelas.” Dahi Kaila berkerut, bingung dengan jawaban yang diberikan Dewa.
“Karena temen-temen gue pada solid semua. Kalo gue gak tau jawaban pas ujian, mereka langsung kasih jawaban ke gue sebagai bentuk rasa solidaritas terhadap teman.” Dewa berkata dengan nada bangga. Sementara Kaila berdecak, kenapa ia baru paham dengan maksud ucapan laki-laki itu?
“Itu sih namanya nyontek, bukan bentuk solidaritas!” Kaila meletakkan buku Dewa dan kemudian menarik nafas kesal.
“Solidaritas kali, Kai. Lo aja yang kurang paham sama masalah beginian. Udah bener semua?” Tak menghiraukan kalimat pertama Dewa, Kaila mengangguk guna menjawab pertanyaan kalimat kedua. Mulutnya baru saja terbuka hendak berkata kembali sebelum suara pintu terbuka disusul suara langkah mendekat membuat mereka berdua menoleh.
“Udah selesai belajarnya?” Itu suara Yuda. Laki-laki itu tadi memang sempat berpamitan untuk membeli beberapa bahan persediaan yang habis.
“Udah, Kakak baru sampai?” Kaila bertanya setelah dirinya sempat mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADEWA ✔️
Teen FictionKecelakaan yang menimpa Kaila dan neneknya menyebabkan kaki sang nenek dinyatakan lumpuh secara permanen oleh dokter. Sejak kecelakaan itu pula gadis itu tiba-tiba merasakan kehadiran bayangan misterius yang tak bisa dirasakan oleh orang lain. Bayan...