18. KEMBAR!

857 69 0
                                    

18. KEMBAR!

“Papa gak mau tau, intinya semester dua nanti nilai kamu harus lebih baik. Kalau bisa, kalahin adek kamu.” Pria paruh baya yang baru saja menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya itu berkata pada anak sulungnya.

“Mana bisa, Pa. Dewa gak bakal bisa lah gantiin posisi pertama si juara bertahan. Bella yang tiap hari privat aja cuma bisa mentok di nomor dua. Apalagi Dewa yang sama sekali gak ikut acara les begituan.” Laki-laki itu menjawab ucapan ayahnya dengan nada yang penuh kekesalan.

“Yaudah, kalau gitu besok kamu privat aja sama adek kamu. Kamu gak keberatan kan, Nak?” ucapan pria itu kini ditujukan pada si bungsu yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan antara kedua laki-laki yang berada satu meja dengannya itu.

“Gak papa sih. Cuma dianya aja yang pasti gak mau.” Laki-laki itu menjawab tanpa mengangkat kepalanya.

“Tuh kan, Pa. Dia pasti gak bakal mau ngajarin Dewa. Makanya gak usahlah ada acara les privat segala. Udah bayar mahal, belum tentu juga Dewa bakal langsung bisa dapet nilai bagus besok semester dua.” Laki-laki itu masih saja menolak pendapat ayahnya.

“Kalaupun adek kamu gak mau, Papa juga bisa cari guru privat buat kamu. Katanya kamu mau ngikutin jejak Papa? Tapi kalau nilai kamu jelek terus kaya gini kamu pasti gak bakal bisa diterima.”

“Siapa bilang Dewa mau ngikutin jejak Papa? Dewa kan pengennya jadi Angkatan Udara, bukan Angkatan Laut, Pa.” Perkataan laki-laki itu sontak membuat pria yang duduk di hadapannya itu terlihat sangat kesal.

“Sak karepmu. Intinya kalau dalam waktu satu minggu kamu gak bisa cari orang yang bisa ngajarin kamu, Papa terpaksa harus turun tangan. Dan Papa gak menerima penolakan dalam bentuk apapun.” Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, pria itu langsung meneguk air putih yang berada di sebelah kirinya kemudian berjalan meninggalkan meja makan.

“Ikutin aja apa kata, Papa. Itu kan juga demi kebaikan kamu. Dan kamu juga tau kan kalau papa udah bilang kaya gitu pasti dia gak bohong.” Laki-laki itu mendengus mendengar ucapan ibunya.

“Mama mau nyusul papa dulu. Siapa tau masih bisa negosiasi tentang waktunya.” Wanita itu pun ikut meninggalkan meja makan dan melangkah ke arah yang sama dengan suaminya tadi.

“Nak, bantuin gue lah.” Dewa menoleh, menatap saudaranya itu dengan tatapan memelas.

“Bantuin apaan, doa? Lagian gue juga tau kalo lo gak bakal mau belajar sama gue.”

“Lo kata gue korban kecelakaan yang lagi kritis, pake bantu doa segala.” Dewa mendengus kesal.

“Terus gue mesti bantuin apa? Atau gak gini aja, lo tanya sama guru tentang siapa gitu yang kira-kira bisa bantuin lo belajar. Selain gue tapi. Gue udah males sama lo.”

“Boleh juga sih. Tapi nanti pasti yang ditunjuk itu ya elo. Mau siapa lagi coba?”

“Makanya besok ditanyain. Siapa tau dapet cewek yang bikin mata lo seger.” Laki-laki itu kemudian beranjak meninggalkan Dewa sendirian di meja makan.

“Weh, bener juga lo! Siapa tau gue bisa dapet cewek bening yang bisa ngajarin gue gitu ya. Boleh juga deh ide lo. Makasih adek!” Dewa berteriak saat laki-laki yang ia ajak bicara telah sampai di anak tangga pertama menuju kamarnya.

“Jijik, anjir! Gak usah panggil dek!”

ããã

“Jadi gimana, Pak? Ada yang kira-kira bisa ngajarin saya?” tanya Dewa pada sosok pria yang kini duduk di hadapannya.

“Ada,” jawab guru itu.

“Nanta.” Dewa mendengus. Bukan jawaban itu yang ia harapkan keluar dari mulut guru di hadapannya ini.

SADEWA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang