Park Hera
Sudah 2 minggu berlalu tepat setelah hari pernikahan kami berlangsung, keadaan kami sama sekali tidak berubah. Tetap sama dan mungkin saja diantara kami tidak ada niatan untuk merubahnya.
Suara burung yang berkicau dipagi hari ditambah selir angin yang berhembus menembus hordeng besar, pantulan sinar matahari yang mencengkram menambah suasana sedikit bersemangat, mencium aroma dipagi hari adalah kesukaanku.
Bagaimanapun sesungguhnya aku tidak ingin seperti ini terus, membiarkan Jimin terus terusan pulang larut atau bahkan tidak pulang. Meskipun aku tidak bisa berbuat apa apa dengan adanya kesepakatan yang kami buat.
Tapi idealisnya, siapapun wanita tidak ingin diperlakukan seperti itu. Aku tahu jelas bahwa perasaan Jimin sama sekali tidak ada untukku, karena membuat Kim Hana, mantan kekasih Park Jimin bertekuk lutut dan kembali ke pelukan Jimin adalah salah satu rencana jimin menyetujui pernikahan bodoh ini.
Tidak habis fikir apa yang ada di otak Jimin, pria ini bahkan dengan mudah bisa menjerat hati wanita manapun hanya dengan tatapannya. Namun sama sekali ia tidak bisa berpaling dari mantan kekasihnya itu sekalipun wanita itu sudah menyakiti Jimin lagi, lagi dan lagi.
Tidak ada lagi istilah wanita yang lebih susah melupakan perasaan karena kenyataannya Jimin itu sangat tulus tapi kelewat bodoh, untuk apa Jimin ingin merengguh kembali mantan kekasihnya yang sudah meninggalkan dia disaat masa terpuruknya? Apa Jimin gila? Atau bahkan Jimin sudah sumpah serapah mencintai mantannya itu sampai mati atau sampai maut memisahkan layaknya puisi puisi picisan? Cih.
Aku hanya terfokus pada tugasku, mahasiswa semester akhir memang masa yang berat untukku, tatkala terkadang membuatku sampai jatuh sakit karena harus memaksakan semua skripsi yang kubuat atau kutulis ini menyantol tetap diotak. Apalagi untuk jurusan social science sepertiku. Berapa kali aku harus survey tempat demi kebutuhan skirpsiku, meski terdengar sedikit menyusahkan tapi aku tidak terlalu ambil pusing karena semua yang kuliah pun juga merasakan hal yang sama sepertiku.
Aku mempunyai cara belajar sendiri, tapi aku juga kurang bisa membagi waktu yang tepat untuk memposisikan cara belajarku yang benar, hingga jam tidur dan makanku berantakan. Belum lagi tugasku sebagai istri; menyiapkan baju suami, menyiapkan makan dan juga beberapa pekerjaan rumah lainnya.
Kami tidak membenci satu sama lain, menurutku kita hanya belum mengenal. Meskipun aku tidak 1 kamar dengan Jimin tapi bagaimanapun peran istri dibutuhkan, sekalipun Jimin tidak pernah melihatku.
Namun pagi ini terlihat sedikit berbeda, aku sedang membuat sarapan untuknya. Meskipun kemarin malam Jimin tidak pulang tapi aku tidak bisa melarangnya ataupun sedikit protes kepadanya dan aku tahu pasti dia sedang mencari kesenangan lain. Entah bagaimana caranya.
Jimin sudah duduk dimeja makan seperti siap menunggu makanan datang persis seperti anak kecil yang siap bergegas sarapan lalu berangkat ke sekolahnya, biasanya Jimin itu sedikit susah bangun. Jadi aku harus kekamarnya untuk membangunkannya.
"kau, masak apa?" tanya Jimin seraya memperhatikanku yang masih menggunakan piyama namun sudah bertarung dengan berbagai bahan masakan yang sudah ada didepan mataku.
Aku menoleh mendapati pandangan Jimin tak lepas dariku, sungguh jika harus jujur. Paras dari sosok Park Jimin ini adalah salah satu hal yang membuatku tidak menolak pernikahan ini. Terlepas dari perjodohan dari kedua orang tua mereka.
"aku kali ini membuat nasi goreng, ini makanan indonesia. Kau tau kan makanan ini?" tanyaku seraya membolak balikan adonan nasi goreng yang terlihat lezat dimataku.
Terlihat Jimin seperti berdiam sejenak sambil berfikir keras mengingat masakan yang ku maksud
"ahh aku tau, baiklah aku tunggu" ucapnya seraya tersenyum tipis lalu memfokuskan kedua hazelnya kembali ke layar handphonenya.

KAMU SEDANG MEMBACA
REGRET✅
FanfictionI still believe even though it's unbelievable: to lose your path is the way to find that path. --lost