Perjanjian 127 juta

125K 9.8K 478
                                    

[Enam]

Jika biasanya Mentari selalu tampak tak acuh pada kemarahan Baskara, tapi tidak kali ini. Mentari jelas sangat takut dan merasa bersalah pada lelaki yang menampilkan raut datar semenjak kejadian merugikan itu. Mentari pun tidak berusaha menghentikan tangisnya sejak tadi hingga saat ini Baskara menariknya ke taman yang berada dekat dari tempat mereka tinggal.

Sinar matahari yang berpendar oranye lembut menandakan tidak lama lagi cahayanya akan menghilang dan digantikan oleh langit kelam dan cahaya bulan. Namun Baskara terlihat tidak peduli, Mentari yang menyadari raut datar itu segera meraih kedua tangan tuannya dan meremasnya kuat.

"Ak-aku gak sengaja. Tadi- tadi aku mau nolongin anak kecil itu buat ambilin mainannya terus- terus tv-nya jatuh, padahal gak sengaja kedorong ... hikss." Mentari tergugu diakhir kalimatnya. "Pasti bosnya udah lapor ke polisi. Aku gak bisa ganti rugi, pasti sekarang aku udah jadi buronan, huaaa ...."

Telapak tangan yang meremas tangan Baskara semakin dingin. Apakah riwayat hidupnya hanya sampai di sini, menghancurkan lima buah TV besar bukanlah rencananya ketika sampai di sana, itu semua karena hari ini adalah hari senin, hari sial nasional bagi hidupnya. Seharusnya Mentari mempercayai ramalan yang ia baca semalam, dan memilih mendekam saja di mansion milik Baskara.

Baskara hanya menatapnya datar membuat Mentari sulit untuk mendeteksi perasaannya, tapi yang pasti, Baskara masih marah padanya. Mentari kembali menjatuhkan air matanya, bibirnya bergetar. "Tuan ... tolongin aku, aku gak mau masuk penjara."

"Kenapa lo gak lawan?" Baskara menarik paksa tangannya dari genggaman Mentari, membuat Mentari menunduk takut dan memegang bahunya yang memar, tanpa sadar.

"Karena aku salah. Aku emang perempuan tolol, aku ceroboh. Pantas aja orang tuaku gak mau ngasuh aku. Aku cuma bisa nyusahin mereka." Mentari kembali menangis meratapi nasib sialnya.

Tiga tahun lalu orang tua Mentari merelakan anaknya yang sudah tamat SMP menuju kota tanpa tunjangan apapun. Mentari yang masih polos terpaksa bepergian hanya membawa satu tas pakaian dan uang hasil menabungnya. Dengan alasan sudah tidak sanggup lagi memberikannya makan dan mengurus hidupnya, orang tuanya memberikan hak penuh hidup Mentari pada bibi Nolan yang bekerja di kota sebagai asisten rumah tangga.

Dan dengan hanya bermodal satu lembar kertas bertuliskan alamat tempat bibinya bekerja, Mentari yang polos harus melawan ketakutannya berada di jalanan tengah kota asing tanpa seorang teman. Dan sekarang inilah dia, seorang pembantu yang akan dihakimi oleh tuannya akibat kecerobohannya sendiri.

"Tuan ... tolongin Tari ...." Dengan bibir bergetar dan mata basah, Mentari meminta belas kasihan pada Baskara yang menatapnya datar.

Baskara menghela napas, kemudian mengangkat sebelah tangannya. Sedangkan Mentari dengan cepat memejamkan matanya, mengira Baskara akan memukulnya.

"Oke. Tapi gak ada yang gratis."

Mentari yang merasakan tangan besar yang meraih sejumput rambutnya dan merapikannya membuka mata dengan jantung berdegup kuat, degupan berbeda dengan saat ia berada di toko tadi. Kali ini lebih ... nyaman.

Baskara kemudian maju dan meraih tubuh Mentari dalam dekapannya, memeluknya erat dan merasakan betapa empuknya badan sekal gadis pendek yang ada dipelukannya ini. "Lain kali kalo ada yang bentak dan ngasarin lo, bales! Gue gak suka, dan cuma gue yang boleh ngapa-ngapain lo."

Mentari mengangguk dalam dekapan Baskara. Merasa nyaman dan ... lagi lagi jatuh hati.

Tuannya yang selalu menjengkelkan dan banyak mau, selalu merasa benar bahkan saat sudah jelas salah, suka memerintah tidak tahu tempat dan waktu, dan tampan memesona serta kaya raya, sekali lagi dengan tidak tahu malunya membuatnya terjerat pada perasaan yang persen ditolaknya lebih besar.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang