[Sepuluh]
Mentari keluar dari toko perhiasan dengan wajah berseri, ia tak menyangka kalau perhiasan yang diberikan almarhumah neneknya berharga lumayan mahal. Mentari hanya perlu menambah sedikit dari uang tabungannya untuk membayar hutangnya pada Baskara.
Mentari berdiri dipinggir jalan untuk menunggu angkutan umum, tetapi motor matic lebih dulu berhenti di depannya dan pengendara yang menggunakan helm itu menepuk sisi kosong di belakangnya. Mentari mundur dengan pandangan waspada, menggenggam tali tasnya dengan erat.
"Gue bukan orang jahat. Ayo naik, gue anterin." ucap orang itu membuka kaca helmnya.
"Alvino!" panggil Mentari tak menyangka, pasalnya Alvino kini berpenampilan sederhana dan tak mencerminkan anak dari keluarga kaya raya sama sekali.
"Kamu udah miskin?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Mentari, membuat Alvino tertawa terbahak-bahak dan menjadi tontonan bagi para pejalan kaki.
"Ya gaklah. Kekayaan keluarga gue gak bakalan abis tujuh turunan, delapan tanjakan, sembilan tikungan, sepuluh turunan." balasnya sombong, Mentari lantas memukul pundaknya gemas.
"Terus kenapa sekarang penampilan kamu berubah. Waktu kamu nginep di mansion Adhyasta perasaan kamu masih bawa mobil deh." ucap Mentari menerawang pada kejadian tiga hari lalu.
"Emang. Tapi sekarang gue lagi merjuangin sesuatu yang berharga, dan sesuatu yang berharga dan tak ternilai gak akan luluh hanya dengan kekayaan yang melimpah." sahut Alvino dramatis.
"Sok tau! Mana ada orang yang gak mau duit dan kekayaan." Mentari menimpali tidak setuju, ia tahu dengan jelas bagaimana uang dapat mengendalikan hidup. Termasuk hidupnya.
"Ada kok! Gebetan gue gak gitu." Alvino membalas dengan wajah tertekuk.
Mentari memutar bola matanya malas. "Iya deh, yang lagi jatuh cinta emang beda." Mentari tersenyum samar melihat Alvino yang kini tergagap dengan wajah memerah.
"Jadi nganterin aku gak?" tanya Mentari akhirnya.
Alvino yang sebelumnya malu-malu kini bersiap-siap dan menyerahkan helm yang sebelumnya digunakan sang gebetan pada Mentari. "Iya dong calon kakak iparku yang cantik." Alvino balas menggoda Mentari, tetapi Mentari hanya tersenyum kecil dan naik ke atas motor tanpa membalas guyonan Alvino.
Dari dulu juga dia dan Baskara bukan apa-apa. Jadi tidak ada alasan bagi dirinya untuk merasa senang saat Alvino menyebutnya calon kakak ipar.
Perjalanan pulang terasa singkat saat bersama Alvino yang cerewet membahas ini dan itu, bibir tipisnya itu tidak pernah berhenti mengajak Mentari berbincang meskipun sebagian besar perbincangan mereka tidak sinkron karena tidak terdengar akibat suara angin. Tapi mentari tetap menikmati saat bersama Alvino, setidaknya dengan begitu ia bisa melupakan sedikit bebannya.
"Thankyou. Kamu gak mau nemuin nyonya sama tuan dulu?" tawar Mentari.
"Lain kali aja, soalnya nanti malam ada jadwal nge-date." Alvino mengibaskan tangannya kemudian menurunkan kaca helm. "Kalau gitu duluan ya, kaka ipar. Bye!" Alvino putar balik dan keluar dari halaman luas mansion Adhyasta.
Mentari mengabaikan kalimat terakhir Alvino, ia hanya tersenyum karena merasa gemas melihat wajah lelaki yang seumurannya itu ketika merona, jatuh cinta memang terasa menyenangkan jika kepada orang yang tepat.
Kakinya melangkah melewati pintu belakang dan menaruh tasnya di dalam kamar, Mentari kemudian berjalan menuju taman kecil yang ada di samping mansion tempat biasa Sintya minum teh dan membaca ketika sore hari.
Sintya di sana, membaca dengan kaca mata yang bertengker dihidungnya dan secangkir teh yang masih terlihat panas di sampingnya. "Nyonya?" Mentari menunduk hormat, berdiri di samping kiri Sintya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Journey [Tamat]
RomanceMentari tergila-gila pada Baskara, sedangkan Baskara setengah mati menghindari Mentari. Arti namanya mungkin sama, Matahari, namun hatinya jelas berbeda. Baskara tak menginginkan Mentari dikehidupannya seperti Mentari menginginkannya. Hingga suatu h...