[Dua puluh sembilan]
Lengannya yang terasa kebas terpaksa membuat Baskara membuka mata, kamar yang masih gelap membuatnya menyipitkan mata dan melihat Mentari yang tidur membelakanginya dengan berbantalkan lengannya.
Entah bagaimana mereka bisa menempel seperti saat ini, mengingat semalam Mentari membaringkan diri sangat jauh darinya.
Malas berpikir, Baskara melihat jam yang ada diponselnya, 07:12 pagi. Baskara melenguh pelan dan kembali memeluk gadis yang menjadi isterinya itu dengan senyum tipis. Melupakan kejadian kemarin saat mereka berdua bertengkar.
Baskara dengan hati-hati menarik tangannya, duduk dan merangkap Mentari menggunakan tangannya kemudian menggulingkan badan hingga kini ia bisa dengan bebas memandang wajah isterinya. Wajah tanpa raut sedih dan air mata.
"Lo gak boleh ninggalin gue, Tar. Gue gak mau lo pergi," bisik Baskara serak, mengecup kening Mentari kemudian turun ke hidung dan terakhir dibibir kecil gadisnya.
Baskara mendekap tubuh empuk Mentari erat, memejamkan mata dengan garis senyum memanjang. Rasanya ia ingin terus seperti ini, memeluk Mentari sepanjang hari. Namun bunyi ketukan pintu mengganggunya membuat Baskara dengan pelan turun dari ranjang dan berjalan sambil menggerutu kesal keluar kamar.
Dengan wajah bantal dan rambut acak-acakan ia membuka pintu, mengangkat sebelah alisnya tinggi saat melihat keberadaan Alvino yang berdiri di depan rumahnya dengan cengiran lebar.
"Ngapain lo ke sini?!" sinis Baskara
Alvin memanjangkan leher melihat ke belakang Baskara penasaran. "Lo udah masuk pabriknya Mentari? Gimana rasanya?"
"Ha? Sejak kapan Mentari punya pabrik?"
"Ituu looh, yang begini-begini ituu. Pengantin baru masak gak ngerti sih." Alvin meraba tubuhnya sendiri dengan wajah dibuat sensual dan bibir dimonyongkan.
Baskara yang sadar arah pembicaraan Alvino, mengangkat tinjunya ke depan wajah sepupunya itu dengan mata tajam memperingati. "Jangan coba-coba bayangin apapun tentang Mentari dengan otak kotor lo itu, atau lo bakalan tau akibatnya."
Mentari miliknya, apapun tentang Mentari hanya boleh disangkut-pautkan dengannya. Tapi jika dipikir-pikir, ini sudah hari ketiga sejak mereka menikah, dan otak Baskara sama sekali tidak pernah berpikir tentang malam pertamanya.
Tapi jika dipikir-pikir lagi, rasanya wajar jika ia tak sempat memikirkan hal itu karena masalah yang mereka hadapi belakangan ini.
"Ampun, Bang ...." Alvino mundur dan melindungi wajahnya dengan tangan. "Gue cuma bawa barang-barang lo aja kok."
Alvino menunjuk mobilnya yang terparkir di depan pagar Baskara, melotot terkejut saat melihat anak-anak kecil yang memegang mobilnya dengan tangan kotor.
"Woy, bocah!! Lo semua apain mobil gue?!" Alvino berlari keluar, meneriaki anak-anak nakal itu yang kini berlari menjauh sambil tertawa keras.
"Kabooorrr!" teriak mereka serempak, sedangkan Alvino kini dengan cepat mengambil kain bersih dan menggosok body mobilnya yang kotor dengan wajah sebal.
"Cuma ini?"
Baskara menghampiri Alvino setelah mengganti boxernya dengan celana panjang, berdiri di belakang mobil dengan bagasi terbuka.
"Cuma ini kata lo? Ini udah semua baju lo, Abaang ganteeng. Baju Mentari mah cuma ada dua tas." Alvino membantu menurunkan empat koper besar dari dalam bagasi, beberapa tas berisi laptop dan buku serta map-map penting dan kardus besar berisi banyak sepatu milik Baskara.
Baskara menolak pinggang, mengembuskan napas pelan saat melihat tumpukan barangnya. Ini mungkin masih sepertiga barangnya dari yang ada di mansion, namun ketika melihatnya sendiri menumpuk dan memikirkan akan merapikannya nanti membuat ia lelah duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Journey [Tamat]
RomantikMentari tergila-gila pada Baskara, sedangkan Baskara setengah mati menghindari Mentari. Arti namanya mungkin sama, Matahari, namun hatinya jelas berbeda. Baskara tak menginginkan Mentari dikehidupannya seperti Mentari menginginkannya. Hingga suatu h...