[Tujuh]
Mentari sibuk dengan makanan yang akan ia sajikan untuk keluarga Adhyasta, meskipun sedikit penasaran karena suara gaduh dimeja makan, entah apa yang sedang keluarga harmonis itu lakukan di sana.
"Bibi, ini udah semua, kan?" Mentari menunjukkan beberapa lauk yang telah bibi Nolan masak sudah rapi diwadahnya masing-masing.
"Iya itu yang terakhir, kamu susun dimeja makan. Bibi mau ngurus yang lain dulu." ujar bibi Nolan sambil berlalu.
Mentari mengangkat nampan itu hati-hati, berjalan pelan menuju keluarga yang sudah berkumpul sedang berbincang riang. Meletakkan satu persatu-satu sambil menunduk tanda hormat.
"Mentari, tolong ambilkan piring dan gelas tambahan ya untuk nak Alvino." suara lembut dari Sintya ibunda Baskara yang ia panggil Nyonya menginterupsi langkahnya yang akan kembali ke belakang.
Mentari menilik sejenak meja makan mencari sosok yang dimaksud oleh nyonya besarnya, dan Mentari terpaku dibuatnya. Di sana sosok tampan dengan senyum hangat menatapnya dengan mata menyipit akibat senyumnya yang lebar. Darimana malaikat itu datang? Batin Mentari bergejolak lebay.
"Mentari ...." panggil Sintya pelan, membuat Mentari yang tengah terjerat dengan pesona Alvino berjengit kaget dan langsung mengalihkan pandangannya pada sang nyonya besar. "Eehh, i-iya Nyonya." Mentari kembali ke dapur dengan kikuk.
"Anjirlah, ganteng banget." Mentari berbisik gemas pada dirinya sendiri, tangannya meraih piring, gelas, juga sendok dan garpu.
Mentari adalah tipe perempuan yang sebenarnya mudah jatuh cinta, tidak terhitung sudah berapa cowok yang sudah berhasil membuatnya jatuh hati selama sekolah menengah atas. Tapi sialnya, cowok yang sebelumnya sudah mulai menampakkan ketertarikannya pada Mentari tiba-tiba malah menjauh tanpa alasan. Dan berakhirlah hatinya berlabuh pada sang tuan muda yang sialnya lagi selalu tega padanya.
Dan sekarang, hatinya kembali jatuh pada sosok tampan dan Mentari tebak pasti ramah.
Jangan mendua!
"Eh? Mendua apanya, kita bahkan belum memulai apa-apa kok." Mentari kembali bermonolog, membela akalnya yang ditentang oleh hati yang juga mencintai tuan teganya.
Biarlah jika Baskara berujung menjadi milik orang lain, setidaknya hatinya dapat kembali berjuang pada sosok lain yang hatinya dambakan. Begitu pikirnya.
Mentari mendekati Alvino dengan senyum ramah yang menurut Baskara yang sejak tadi mengamati geraknya, sangat berlebihan. Pasti mau modus! Batin Baskara berdecih.
"Silahkan mas Al." kata Mentari lembut, menyusun piring dan perlengkapan makan lainnya di depan Alvino dengan pelan dan rapi.
"Terimakasih ... em---"
"Mentari, Mas. Panggil Tari aja." sela Mentari masih bertahan dengan senyumnya.
"Oke, terimakasih, Mentari."
"Mentari kalau mau makan di sini duduk aja deket nak Alvino." tawar Sintya lembut yang dijawab gelengan oleh Mentari.
"Gak papa, Nyonya. Tari bisa makan di belakang nanti."
"Heh! Jus gue!" Baskara bersuara setelah terdiam cukup lama, begitu muak melihat Mentari yang berubah lembut saat berbicara pada bundanya juga Alvino. Sedangkan saat bersamanya, Mentari pasti akan mengerling kesal, menentang dan menampilkan wajah bermusuhan. Tapi tidak selama Baskara memegang kartu AS Mentari. Baskara tersenyum miring memikirkannya.
"Baik, Tuan." ujar Mentari memaksa senyumnya.
"Ayah, kalau aku pinjamin uang 127 juta sama orang yang gak tau diri, menurut Ayah gimana?" Baskara bertanya dengan pandangan sinis kearah Mentari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Journey [Tamat]
RomanceMentari tergila-gila pada Baskara, sedangkan Baskara setengah mati menghindari Mentari. Arti namanya mungkin sama, Matahari, namun hatinya jelas berbeda. Baskara tak menginginkan Mentari dikehidupannya seperti Mentari menginginkannya. Hingga suatu h...