Penolakan dan keputusan

124K 9.9K 717
                                    

[Sembilan]

Mentari merapikan kamar Baskara yang kali ini terlihat sangat berantakan. Ia ingat sekali kemarin menyanjung Baskara karena menjadi lelaki yang rapi dan pembersih, tapi dalam sehari sudah berubah sebaliknya.

Tangannya dengan telaten memasang bed cover bersih pada ranjang besar Baskara, walaupun badannya bergerak kaku karena sang pemilik kamar kini menatapnya seperti target buruan, sangat tajam dan intens.

"Tuan, bisa keluar sebentar gak? Aku mau bersihin kamar Tuan dulu." kata Mentari sopan.

"Nanti. Bersihin kamar mandi gue dulu!" Baskara memerintah dengan pandangan bermusuhan entah karena apa. Dan Mentari membiarkannya saja seperti itu tanpa bertanya sebabnya, karena Mentari memang akhir-akhir ini berusaha tidak terlalu terlibat konflik dengan Baskara. Itu lebih baik daripada bersikap seperti biasa dan berakting seolah dirinya baik-baik saja.

"Baik, Tuan." Mentari sedikit membungkuk dan berlalu ke kamar mandi yang ada di dalam kamar Baskara, membuat Baskara semakin menatapnya tajam.

Mentari menghela napas dalam setelah berada di dalam kamar mandi, mencoba sabar dengan tingkah Baskara yang semakin menjengkelkan. Seharian ini Mentari terus mengurusi Baskara yang berubah cerewet, mulai dari sarapan, merapikan kamar, melipat ulang pakaiannya yang ada dilemari yang padahal sudah rapi, hingga terpaksa naik ke atap gazebo untuk mengambil sepatu Baskara yang entah kenapa bisa berada di sana.

Mentari mulai membersihkan dinding kaca penghalang untuk area mandi dan toilet, menyemprotkan pembersih dan mulai mengelapnya hingga busanya hilang.

"Mentari!"

Mentari memutar matanya setelah panggilan Baskara masuk ke indera pendengarannya, melepaskan alat pel yang akan digunakan untuk mengepel lantai kamar mandi itu dan memutuskan untuk menghadap sang tuan.

Setelah Mentari keluar, Baskara menunjuk meja kecil di samping kasur, dimana tempat ponselnya berdering. "Ambilin!" perintahnya.

Mentari dengan langkah ringan kemudian menuruti, meraih ponsel yang kini menyala dengan nama Laras di sana. Dan entah kenapa Mentari langsung ingin membanting benda mahal itu seketika.

Hari ini Mentari libur ke kampus, dan Laras sama sekali tidak menghubunginya seperti biasa, mungkin sibuk telponan atau chatingan dengan tuannya.

Sudahlah, buat apa juga mikirin mereka! Mentari memperingati dirinya sendiri agar tidak terlarut dengan perasaan kecewanya. Iya, Mentari jelas kecewa dengan Baskara dan Laras, tapi bagaimanapun juga itu hak mereka dan Baskara ataupun Laras pantas mendapatkan seseorang yang setara untuk mendampingi kehidupan asmaranya.

Tidak berselang lama setelah Mentari memberikan ponsel mahal itu kepada pemiliknya, ponsel jadul Mentari yang selanjutnya berdering. Baskara menatap curiga pada Mentari sedangkan Mentari yang melihat nama pemanggil langsung izin keluar dari kamar Baskara tanpa menunggu persetujuan tuannya.

"Halo bu." kata Mentari pelan, setelah mengangkat panggilan di lorong menuju tempat mencuci baju.

"Kapan kamu pulang, Mentari?! Ibu sudah bilang untuk cepat kembali. Orang tua Fajar sudah tidak sabar menikahkan kalian!"

Mentari memejamkan mata dan menghela napas sepelan mungkin. "Ibu apa tidak punya jalan lain? Mentari punya cukup tabungan untuk menyicil hutang kalian, tapi tidak sampai lima ratus juta. Mentari janji akan melunasinya, bu."

"Tidak ada waktu! Cepat pulang atau ibu dan bapak yang akan ke sana menyeretmu pulang!"

"Tapi Mentari baru saja masuk kuliah. Kalau begitu Ibu tolong bujuk orang tua mas Fajar agar menunggu hingga Mentari lulus. Mentari mohon, Bu." Mentari mendudukkan dirinya di samping mesin cuci, mengapus air matanya yang sudah bercucuran dengan tangannya.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang