Kisah lain

127K 8.1K 259
                                    

[Dua puluh dua]

Mentari memandang ketakutan pada Baskara yang kini menindih tubuh kakunya. Air matanya bercucuran namun suaranya tak bisa keluar sama sekali, ia seperti bisu dengan tubuh lumpuh.

"Lo milik gue, Mentari. Cuma gue yang boleh deket sama lo."

Suara Baskara samar namun terdengar sangat dekat dengan telinga Mentari. Sentuhan Baskara dikulitnya pun terasa sangat menusuk, sangat sakit hingga rasanya seperti tersiram air panas. Mentari tak henti-hentinya berteriak dalam hati.

"Sakiitt! Berhentii!"

"Lo milik gue."

Suara yang terdengar sayup-sayup milik Baskara menembus gendang telinga Mentari, hisapan dan gigitan Baskara pada tubuhnya kini terluka dengan darah yang memuncrat keras menyembur ke wajah dan badan Baskara. Mentari berteriak histeris.

"Lo milik gue, Mentari.

"Mentari ... lo milik gue, selamanya ...."

"Mentari ...."

"Mentari!"

Mata yang terpejam dengan lelehan air mata milik Mentari terbuka lebar. Mentari dengan wajah pucatnya memandang Fajar yang menatapnya khawatir, dengan bingung.

Itu ternyata hanya mimpi. Mimpi terburuknya.

"Kamu baik-baik aja, Mentari? Kita sudah sampai."

Mentari memandang sekelilingnya, melihat bibi Nolan yang tengah menenteng tas besar Mentari menuju pintu rumah.

"Kita sudah sampai." ulang Mentari dengan lega. Ia benar-benar sudah jauh dari predator itu.

"Kamu mimpi buruk?" tebak Fajar tepat.

Mentari meraba wajah basahnya, jantungnya yang tadi berdetak cepat perlahan-lahan kembali normal. "Se-sepertinya begitu. Mungkin karena Mentari demam."

Fajar memandang mata Mentari lekat, tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya untuk menghapus bekas air mata Mentari, kemudian mencium puncak kepala Mentari lembut. "Kalau gitu, ayo turun. Biar kamu bisa langsung istirahat di dalam."

Mentari mengangguk pelan menyetujui, keluar dari mobil dan disambut angin sejuk yang langsung membuatnya menarik napas panjang.

Ia kembali lagi ke sini. Tempat menenangkan sekaligus menyesakkan baginya.

Fajar mengulurkan tangannya kepada Mentari, disambut dengan senyum tipis dan mereka bersama-sama menuju depan rumah.

"Kamu kalau pulang cuma buat marah-marah mending gak usah! Gak ada yang ngundang kamu ke sini!"

"Keponakanku mau nikah, aku gak boleh hadir?! Ini gara-gara kalian berdua, seharusnya Mentari dari dulu sama aku aja, gak perlu kenal kalian berdua kalau ujung-ujungnya dijual buat bayar hutang!"

"Siapa yang jual?! Dia sendiri yang mau bantu kami. Itu emang fungsi anak kan? Membantu orang tua!"

"Fungsi katamu?! Kamu pikir dia barang?! Emang kamu yang salah! Seharusnya kamu denger kata ibu bapak buat ninggalin si Agus gak tau diri itu! Lihat kamu sekarang! Kurus kering kayak gak pernah dikasih makan, gak seharusnya kamu nikah sama berandalan pemabuk kayak si Agus itu!! Dari dulu juga----"

Mentari menahan tangan Fajar yang sudah mencapai teras rumah, menariknya menjauh menuju seberang jalan rumahnya, duduk di bangku papan panjang dengan kikuk. Fajar pasti sudah mendengar itu semua, dan sekarang ia sangat malu karena memiliki keluarga yang berantakan.

"Mereka emang sering bertengkar." ungkap Mentari terkekeh pelan, menghapus cepat air matanya yang mengalir.

"Dulu katanya, nenek sama kakek Tari gak kasih restu ibu sama bapak Tari nikah, tapi mereka maksa, nikah siri. Bibi Nolan juga gak suka sama bapak gara-gara bapak pemabuk dan penjudi, bibi Nolan takut kalau ibu sengsara kalau sama Bapak. Dan emang bibi Nolan bener, ibu gak pernah bahagia."

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang