[Empat belas]
Mentari duduk dikasurnya, memegang tali tasnya yang sudah diisi oleh pakaian dan perlengkapan lainnya. Suara obrolan ibunya dan Fajar di depan rumah terdengar samar-samar dari tempatnya kini. Mentari menghela napas berulang kali, berdiri dan memutuskan keluar dari kamar sambil menjinjing tas.
Mentari berdiri sejenak di depan kamarnya, melirik pintu kamar orang tuanya yang berada tepat di samping kamarnya. Pintunya tertutup rapat, ayahnya masih tertidur padahal sudah pukul sepuluh pagi. Semalam Agus pulang subuh saat Mentari baru bisa terlelap setelah semalaman mengangis dan sekarang matanya sedikit bengkak.
Mentari berjalan keluar, mendapati ibunya dan Fajar yang duduk dikursi plastik. Ia melirik keduanya bergantian, sebelum menatap ibunya lama. "Aku berangkat, Bu." ujar Mentari serak dan langsung berjalan ke sisi mobil Fajar, menunduk enggan untuk menoleh lagi.
Fajar yang melihat kejadian itu, berdiri canggung. Menyalami tangan Mayang dan pamit. Sebelum Fajar beranjak, Mayang menahan lengan calon menantunya itu. "Hati-hati. Jagain Mentari ya." pintanya.
Fajar tersenyum menenangkan lalu mengangguk. "Pasti, Bu."
Dengan cepat Mentari masuk ke dalam mobil setelah Fajar membuka kuncinya. Menghela napas panjang sambil memeluk tasnya erat, matanya kembali memanas, namun Mentari kali ini tidak akan menangis lagi. Ia tidak akan lemah hanya gara-gara sakit hati pada ayah dan ibunya.
"Tasnya taruh di belakang ya." Fajar mengambil alih tas Mentari dan meletakkannya di jok belakang.
"Maaf ya, Mas. Mentari kasih taunya mendadak. Mas gak ada kerjaan 'kan? Mentari takut ngerepotin." Mentari melirik Fajar menunjukkan wajah tidak enaknya.
Gadis itu memang memutuskan kembali ke kota lebih cepat. Jika menunggu waktu sore untuk pergi, Mentari rasanya tidak akan sanggup melihat ayahnya yang keluar masuk rumah dengan wajah tanpa dosa, maupun ibunya yang selalu tidak peduli dengan ayahnya yang sudah di luar batas, membuat Mentari rasanya ingin berteriak marah.
Apakah tidak pernah ada dipikiran orang tuanya itu untuk menjadi lebih baik? Mentari ingin sekali diperlakukan selayaknya anak. Tidak menelpon saat kekurangan uang saja.
"Gak pa pa. Kerjaan Mas juga udah gak terlalu banyak di kantor. Kalau berangkat pagi-pagi gini kan nanti Mas baliknya juga gak kemaleman." jawab Fajar tersenyum simpul. Sebelah tangannya mengusap kepala Mentari pelan kemudian kembali menyetir dengan fokus.
Mobil yang mereka tumpangi melewati jalanan tanah yang hanya muat satu mobil, di setiap sisi jalan dihiasi padi hijau luas yang mampu membuat perasaan Mentari sedikit membaik. Ditambah udaranya yang segar, Mentari memejamkan mata menikmati dan tertidur tanpa disadari.
Fajar yang melihat Mentari jatuh tertidur tersenyum tipis. Mentari dimatanya masih terlihat seperti gadis SMP yang ketika menangis selalu mencarinya dan diminta mentraktir semangkuk bakso. Fajar terkekeh pelan mengingatnya.
Mentari yang dulu maupun sekarang tetaplah adik manis baginya. Mentari tidak pernah berubah.
Fajar menghentikan laju mobilnya di warung tenda saat waktu makan siang, membangunkan Mentari yang langsung tersentak kaget. "Udah sampe?" tanyanya.
"Makan dulu, Dek. Kalau kamu kelaperan, Mas juga yang bakalan panik lihat mag kamu kambuh."
Mentari mengangguk mengerti, mengambil dompet kemudian keluar mengikuti Fajar yang sudah masuk dan memesan makanan.
Mata Mentari sudah kembali normal, tidak seperti sebelumnya yang terasa sangat berat. Hanya saja suaranya masih terdengar serak. Mereka makan ditemani obrolan-obrolan ringan disertai gurauan yang membuat Mentari tertawa keras saat makan. Fajar yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala dan sesekali menegur Mentari yang terus kembali tertawa meskipun dengan suara yang terdengar aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Journey [Tamat]
RomanceMentari tergila-gila pada Baskara, sedangkan Baskara setengah mati menghindari Mentari. Arti namanya mungkin sama, Matahari, namun hatinya jelas berbeda. Baskara tak menginginkan Mentari dikehidupannya seperti Mentari menginginkannya. Hingga suatu h...