Bahagia

124K 8.5K 153
                                    

[Tiga puluh empat]

Baskara mengendarai motor maticnya dengan senyum lebar. Mengangkat sebelah tangan saat orang-orang menyapanya ketika memasuki gang perumahannya.

Sebenarnya motor yang ia gunakan sudah Aryo beli sejak dua hari yang lalu, berikut dengan kelengkapan surat-suratnya. Hanya saja Baskara merasa malas untuk keluar rumah dan meninggalkan isterinya, dan hari ini adalah hari yang tepat berhubung ia juga harus menggantikan Aryo di kantor.

Dengan tidak sabar, Baskara memarkirkan motornya di halaman rumah, penasaran dengan ekspresi Mentari ketika melihatnya.

"Mentari ... gue pulang!" seru Baskara semangat.

Tangannya meraih ganggang pintu dan membukanya, terkejut saat melihat isterinya berdiri dengan air mata berjatuhan.

"Kaak ...." Mentari berjalan cepat kemudian melempar dirinya kepelukan Baskara.

Baskara yang khawatir, membalas pelukan isterinya, menuntunnya masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. "Ada apa, Mentari? Lo kenapa? Ada yang jahatin lo?"

Mentari menggelengkan kepala dalam pelukan Baskara, masih enggan untuk melepaskan diri.

"Ta-tadi Alvino dateng---"

"Dia yang buat lo nangis? Brengsek! Dia bilang apa? Dia apain lo? Bilang sama gue!"

"Bukaan!" Mentari mengerang kesal, melepas pelukannya dan memegang erat ujung kemeja suaminya.

"Dia ke sini bareng bunda," ucap Mentari mulai menangis lagi.

Mentari kesal pada dirinya sendiri. Disaat hatinya berbunga-bunga karena kedatangan Sintya dan memberi mereka restu, ia malah menangis saat seharusnya dirinya memberi info itu dengan wajah bahagia.

Baskara semakin memandang isterinya khawatir, takut ibunya berkata hal-hal yang membuat Mentari memutuskan untuk meninggalkannya.

"Bunda bilang apa? Bunda gak bilang yang aneh-aneh, kan?"

Baskara menarik tangan Mentari memasuki kamar, mendudukan isterinya di pinggir kasur sedangkan ia berjongkok di bawah. Mengusap wajah isterinya pelan dan mencium telapak tangannya berkali-kali.

Ia menyimpulkan bahwa pertemuan ibunya dan Mentari tidak berjalan sewajarnya, pasti ada yang salah dan itu telah menyakiti hati isterinya.

Baskara menggenggam tangan Mentari, menuntunnya ke sisi wajahnya dan mendiamkannya di sana. "Maafin bunda. Apapun yang bunda bilang sama lo pasti bukan sesuatu yang benar-benar dia inginkan."

"Kakak ngomong apa?" Mentari mengusap sisa-sisa air matanya. Memeluk leher Baskara dan bersandar dibahu lebar suaminya.

"Bunda udah restuin kita, Kak. Bunda bilang aku gak salah karena cinta sama Kakak. Bunda bilang aku pantas dapetin Kakak."

Baskara terdiam, Mentari melepas pelukannya saat Baskara justru tak menampilkan ekspresi apa-apa diwajahnya. "Kak?"

"Itu ... bener?" Mentari mengangguk dengan senyum bahagia.

Dari binar mata sang isteri, Baskara tahu jika itu bukan sebuah kebohongan. Ia lemas, terduduk di lantai kamar dengan kedua tangan bertumpu dibelakang.

Kedua alisnya mengernyit, terlihat bingung namun senyuman dibibirnya muncul semakin lebar setiap detiknya. Tangannya di belakang mengepal membuat telapak tangannya sakit saat kukunya menancap di atas kulit. Ia merasakan itu. Baskara tidak sedang bermimpi.

"Mentari!" sentak Baskara yang seperti baru sadar dari mimpinya. Berdiri dengan tiba-tiba dan menarik isterinya dalam pelukan erat dan mengajaknya melompat-lompat di dalam kamar.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang