Berakhirnya perang saudara

117K 8.2K 84
                                    

[Dua puluh empat]

Suara riuh rendah yang terdengar dari dalam kamar gadis itu membuat ia mengerang pelan kemudian meregangkan badannya. Mentari membuka mata, dalam keadaan setengah sadar kemudian memaksakan kakinya menapaki lantai dan berjalan membuka pintu.

Mulutnya ternganga saat melihat ruang tamu rumahnya yang tidak begitu luas disulap menjadi tempat akad dengan didominasi warna putih bersih, ada satu meja kecil ditengahnya dan juga dilapasi kain putih sebagai alas. Bunga dan dedaunan sintetis yang diatur dengan bagus semakin menambah kesan sejuk di ruangan itu.

Hari ini benar-benar hari pernikahanku? Batin Mentari tidak menyangka, sebelah tangannya menutup mulutnya yang ternganga lebar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini benar-benar hari pernikahanku? Batin Mentari tidak menyangka, sebelah tangannya menutup mulutnya yang ternganga lebar. Waktu terasa begitu cepat hingga ia tidak sadar sudah sampai di saat ini. Rasanya baru kemarin Mayang mengabarinya tentang lamaran dan sekarang semua persiapan untuk pernikahannya sebentar lagi, sudah ada di depan mata.

"Ck ck ck. Ratu acaranya malah baru bangun tidur."

Mentari semakin ternganga saat melihat Alvino berdiri di depannya dengan pakaian bersih dan rapi, wajahnya terlihat segar seperti sudah mandi.

"Kamu kapan sampainya, Vin?" tanya Mentari terkejut, kepalanya menengok kiri dan kanan menjelajahi seisi ruangan.

Alvino semakin berdecak. "Tadi malem, jam 11. Gue sendirian ke sini, eh, maksud gue bertiga sama bodyguard dan dokter pribadi gue." ucapnya memperkenalkan dua orang pria di belakangnya. "Jangan tanyain Baskara sama Laras, mereka gak bakalan dateng." lanjutnya lagi setelah menyadari gelagat Mentari.

Aduuh! Berharap apa sih si Mentari? Tentu saja Baskara tidak peduli ia menikah dengan siapa, ucapannya waktu itu jelas hanya omong kosong. Dan lagi pula ia masih takut jika harus bertemu dengan pemuda itu. Sangat takut lebih tepatnya.

Mentari meraba lehernya tanpa sadar, menyadari bahwa bekas merah ciuman Baskara masih terlihat di sana meskipun sudah agak samar.

"Kamu sudah makan?" tanya Mentari mengalihkan topik.

"Siapa yang bakalan makan jam 4 subuh?" Alvino memutar mata jengah mendengar pertanyaan bodoh Mentari.

"Oh, hehe." Mentari mengusap tengkuknya malu.

"Lo mandi aja sana, kata nyokap lo tukang makeup-nya bakalan dateng sejam lagi. Gue mau makan dulu." Alvino berlalu diikuti dua pengikutnya.

"Eh, siapa yang bakalan makan jam 4 subuh? Hantu?" sindir Mentari keras, Alvino hanya melambaikan tangan dan hilang di area dapur yang terlihat sibuk.

Dasar orang kaya, batin Mentari geleng-geleng kepala. Bepergian saja harus bawa-bawa dokter dan bodyguard, tidak heran sih, Alvino adalah anak tunggal yang kelak akan mewarisi seluruh harta orang tuanya.

Dan masalah memasak di dapur, mereka sepakat tidak menggunakan jasa katering, selain menghemat, mereka juga bisa membuat banyak jenis makanan dalam porsi besar.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang