Baik-baik saja

116K 8.1K 526
                                    

[Dua puluh tiga]

"Ayo dong, bilangin sama mama biar gue bisa ke sana." Alvino menggoyangkan lengan Baskara seperti anak kecil. Menampilkan puppy eyes pada Baskara yang terus berjalan dan akhirnya duduk disofa depan tv yang menyala.

"Gak!"  jawabnya tegas.

Alvino menghela napas kasar, kemudian beralih pada Laras yang duduk di samping Baskara. "Ras! Lo bener-bener ya! Lo kan sahabatnya, masak gak dateng sih di pernikahan Mentari?! Ini besok loh, be-sok!" Alvino menekan ucapannya dengan kesal.

"Aku mau dateng, tapi ... kalau kak Baskara gak mau, aku juga gak mau." Laras menjawab disertai senyum lembut dan bersandar dibahu Baskara.

Baskara diam, pandangannya lurus ke arah tv, tidak mengacuhkan Laras yang semakin menempelkan tubuhnya pada lengan Baskara.

"What?! Jadi gak bakalan ada yang dateng gitu?" Alvino histeris. "Oke, terserah kalian. Kalian emang bukan temen yang baik."

Alvino mengotak-atik ponselnya, mencari kontak papanya untuk dihubungi. "Paaa, bujuk mama dong ... bilangin kalau mama gak izinin Vino pergi, Vino gak bakalan makan dua hari." ujar Alvino manja pada papanya, sambil berlalu pergi meninggalkan Baskara dan Laras di ruang tv.

"Cih! Manja!" sinis Baskara memutar bola matanya.

"Sayang ...." panggil Laras lembut.

Baskara mengangkat sebelah alis saat Laras naik ke pangkuannya dan mengaitkan kakinya pada pinggang Baskara. "Kamu akhir-akhir ini kenapa cuekin aku terus?" rajuk Laras dengan bibir dimajukan.

"Nanti ada yang lihat, Ras." Baskara mendesis dengan mata tajamnya.

"Ya gak pa pa. Bunda sama ayah Kakak lagi pergi kan? Palingan juga yang lihat pelayan, mereka gak bakalan berani ganggu. Alvin juga lagi sibuk telponan."

Laras mendekatkan wajahnya ke Baskara, menatap mata gelap itu dengan mata redupnya kemudian mulai menyatukan bibir mereka. Baskara diam, membiarkan Laras mengolah bibirnya dengan lihai.

Tangan lentiknya pun bekerja dengan giat, menelusup ke dalam kaos Baskara dan meraba-raba perut dan dada yang terbentuk seksi itu.

"Aahhh." Laras mendesah disela ciumannya saat merasakan bibir Baskara mulai bergerak dan mengambil alih ciuman panas mereka.

Baskara menidurkan Laras di sofa, dengan kaki Laras yang masih mengait dipinggangnya erat. Tangan Baskara pun mulai mengangkat baju Laras dan meremas dadanya pelan, ciumannya turun ke leher Laras, menjilat dan mengecupnya pelan.

"Aku benci kamu, Baskara!"

"Brengsek!"

"Biadab!"

"Lepasin aku! Ampuun!"

Baskara tersentak, menjauhi laras kemudian duduk dengan kaku.

Dia bukan Mentari, batinnya berbisik. Baskara kembali mengingat saat ia memutar rekaman dari kamera pengawas yang ia pasang di kamar Mentari saat pulang dari rumah sakit waktu itu. Melihat sendiri ketakutan Mentari akan dirinya, terjaga sepanjang malam menatap pintu yang diganjal dengan meja dan tubuh yang terbungkus selimut.

Saat gadis itu akan pamit pun, wajahnya yang pucat berubah merah menahan tangis karena dirinya. Apa ia sangat menakutkan bagi Mentari?

"Kenapa berhenti?" tanya Laras kecewa.

Baskara memandangnya tajam, melihat Laras yang masih berbaring dengan rahang mengeras. "Lo gak marah gue pegang-pegang?"

Laras terkekeh pelan. "Marah kenapa? Aku ... suka kok. Kakak boleh pegang tubuh Laras dimanapun, di sini ...." gumam Laras dengan wajah merona menahan gairah, menarik tangan Baskara hingga menangkup dadanya, "bahkan, di sini." kemudian menuntun tangan Baskara menuju selangkangannya.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang