Ternyata ...

111K 6.9K 217
                                    

[Empat puluh satu]

Mentari turun dari motor Baskara, memegang kedua tali tas punggungnya dengan senyum lebar. Rok hitam dengan motif titik putih yang ia pakai melambai-lambai tertiup angin, sedangkan sweater hitamnya terlihat pas membungkus badan sekalnya.

Baskara yang masih duduk di atas motor menepuk puncak kepala isterinya pelan, tersenyum geli melihat keceriaan Mentari.

"Nanti siang gue jemput, lo tunggu di sini. Hp jangan dimatiin," pesan Baskara, Mentari mengangguk dengan masih tersenyum lebar.

"Kalau gitu gue pergi dulu, ya?"

"Tunggu!" Mentari semakin mendekat kemudian mengecup singkat pipi suaminya.
"Hati-hati," ujar Mentari lagi dengan wajah merona, lalu berlari kecil memasuki halaman kampus.

"Jangan lari-lari, Tar! Kasian bayinya!"

"Iyaa!" Mentari membalas teriakan Baskara tanpa membalik badan, ia terus tersenyum pada orang-orang yang berpapasan dengannya.

Meskipun tidak banyak berteman, Mentari tetap berusaha agar setidaknya tidak dimusuhi. Dijalan menuju kelas, ia bertemu dengan Laras yang berjalan sendirian, gadis itu melirik Mentari dan perutnya yang tertutupi baju.

"Hai, Lar ... as," sapaan Mentari mengecil diakhir ucapaannya, Laras tak mengacuhkannya sedikitpun. Gadis itu tetap berjalan memasuki kelas, meninggalkan Mentari dengan helaan napas kecil.

Saat di kelaspun orang-orang mulai tertarik menatapnya lebih lama dari biasanya kemudian dilanjutkan dengan bisikan bersama teman di dekatnya.

"Dia beneran hamil gak, sih?"
"Kayaknya bener, deh. Lo gak nyadar apa badan dia udah agak beda? Tadi digerbang juga kak Baskara nyebut-nyebut bayi gitu."
"Kasian banget Laras, padahal dulu mereka deket banget. Sekarang gara-gara cowok, jadi berantem."
"Bukan salah kak Baskara juga, sih, kalau dia ganteng. Panteslah direbutin cewek-cewek."

Ah, ternyata mereka membicarakan tentang dirinya. Mentari menunduk, mengelus pelan perutnya dan membiarkan orang-orang memikirkan apapun tentang dirinya.

Selama tidak membahayakan dirinya juga bayi-bayinya, Mentari tak masalah.

"Woy, bubaar! Pak Sani gak dateng hari ini, katanya pinggangnya sakit abis jatuh di kamar mandi! Sukuriin!" seru lelaki 'bermuka dua' yang ada dijurusannya. Bukan secara harfiah, lelaki yang bernama Fito itu sangat pintar dan sopanya luar biasa terhadap dosen. Namun, ketika bersama teman-temannya dan orang lain, jangan harap akan disapa dengan baik.

Semua teman sekelas bersorak senang, lantas satu-persatu mulai beranjak dari kursi. Mentaripun begitu, sudah tidak sabar ingin menyentuh kasurnya, padahal belum terhitung dua jam sejak ia berangkat dari rumah.

Tidak ada kelas lagi yang perlu ia hadiri hari ini, jadi langkahnya membawanya keluar gerbang kampusnya. Sekarang bagaimana ia akan pulang? Yang pasti tidak dengan angkutan umun.

Mentari melepaskan satu tali tasnya kemudian menariknya ke depan tubuh, meraih ponselnya yang berdering nyaring. Nomor baru. Siapa?

Mentari hanya menyimpan sedikit nomor diponselnya, dan tidak pernah memberikannya pada orang asing. Mentari mendiami panggilan itu hingga berhenti, tapi tak berselang lama sebelum panggilan berikutnya masuk lagi.

"Halo?" sapa Mentari pelan setelah mengangkat panggilannya.

"Mentari, ini Mas Fajar."

Mentari terpaku ditempatnya, menahan napas tanpa sadar. "Mas Fajar ... ada apa?" tanya Mentari tercekat. Setelah hampir empat bulan tanpa kabar, angin apa yang membuat Fajar kembali menghubunginya?

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang