Hidup baru

133K 9.4K 194
                                    

[Dua puluh delapan]

Mata bulat Mentari tak kunjung kering meski mereka sudah jauh dari mansion Adhyastha. Baskara membawanya ke toko elektronik besar yang pernah mereka kunjungi dulu, entah untuk apa.

Mengingat perlakuan Baskara sebelumnya yang membuat hatinya perih, kembali memaksa air matanya mengalir. Baskara terlihat sangat marah padanya, tak sekalipun lelaki itu meliriknya atau menanyakan keadaannya yang kini kelaparan karena tak makan sejak pagi tadi. Padahal Mentari meminta mereka berpisah hanya untuk membuat semuanya kembali baik-baik saja.

Mentari hanya ingin Baskara kembali hidup normal dengan segala kemewahannya, bukan seperti sekarang, pergi tanpa tahu tempat kembali. Mereka sudah tidak punya rumah untuk ditinggali.

"Diam di sini!" perintah Baskara, menyentak tangan Mentari membuat gadis itu langsung terduduk disofa panjang yang ada di depan ruangan yang Mentari tebak adalah kantor pemilik toko besar ini.

Mentari mengangguk dengan wajah merahnya, menghapus air matanya cepat agar Baskara tak semakin muak melihat wajahnya.

Baskara diam sejenak, memperhatikan Mentari dengan wajah datarnya. Seharusnya Mentari mendukung semua yang ia usahakan untuk kebersamaan mereka, bukan malah meminta untuk berpisah seperti yang dilakukan ayahnya.

Saat sudah seperti ini Baskara bingung harus bagaimana, ia seperti sudah tidak diinginkan. Jika sebelumnya Mentari yang meragukan ketulusan cintanya, sekarang malah dirinya sendiri yang meragukan gadis itu. Semenjak mereka sah menjadi suami isteri satu hari yang lalu, ia bahkan mendengar kata cerai lebih dari dua kali.

Baskara menjauhi Mentari dan masuk ke dalam ruangan yang digunakan sebagai kantor itu, kemudian menutup pintunya.

"Loh, Bos, kok gak ngabarin mau dateng hari ini?"

Aryo, sahabat sekaligus orang yang Baskara percaya untuk memegang salah satu usahanya, berdiri mengambil dua kaleng soda dan menghampiri Baskara yang langsung duduk disofa yang diatur melingkar dengan meja ditengahnya.

"Gak sempet." jawab Baskara pendek. "Yo, cariin gue rumah kontrakan kecil, cepet dan harus bisa pindah sekarang." perintah Baskara kemudian menenggak sodanya hingga tandas.

Jika memang Mentari tidak menginginkannya hingga terus memintanya berpisah, jangan salahkan Baskara jika memberikan gadis itu sedikit hukuman.

Aryo melongo, tidak percaya dengan perintah sahabatnya itu. Ia tahu kalau Baskara adalah tipe orang yang memang segala kemauannya harus dituruti, tapi untuk mencari rumah kontrakan kecil dan harus bisa langsung ditinggali, untuk apa?

Baskara memiliki mansion dengan luas seperti lapangan bola, beberapa unit apartemen dan toko elektronik yang terkenal. Dan sekarang orang kaya itu meminta untuk dicarikan rumah kontrakan? Untuk apaa? Tukar nasib? Atau ...

Aryo menggeleng pelan. "Bos udah bangkrut?" tanyanya prihatin.

Baskara menoleh cepat, memandang sinis ke arah Aryo. "Emangnya kenapa kalau gue udah bangkrut? Lo mau pergi juga? Silahkan, gue juga udah bosen lihat muka lo."

"Eh, jangan dong. Anak isteri gue mau makan apa kalau lo pecat gue." Aryo memasang tampang memelasnya, merayu Baskara dengan alasan yang jelas bosnya itu tahu adalah kebohongan. Dia masih single dan tentu saja masih ... emm, masih perjaka.

Baskara teringat sesuatu setelah mendengar ucapan asal Aryo, memilih berdiri cepat dan bersiap-siap meninggalkan ruangan itu. "Sial! Isteri gue belum makan dari pagi." umpat Baskara pelan.

Aryo yang mendengar itu mengerjap cepat, mereka tidak tiba-tiba langsung mempunyai seorang isteri, kan? Ia kan hanya asal bicara tadi.

"Isteri siapa? Lo halu?"

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang