Mas Fajar

126K 9.7K 200
                                    

[Dua belas]

Setelah lebih dari tiga jam duduk di kereta api dan dilanjutkan belasan menit naik ojek, Mentari sampai di depan rumahnya yang terlihat ramai. Ia menerima tasnya yang diulurkan tukang ojek itu dengan senyum tipis dan memberikan ongkos sesuai yang tukang ojek itu sebutkan.

"Terimakasih, Pak."

"Iya, Neng. Terimakasih kembali." balas tukang ojek itu, dan putar balik kemudian pergi dari sana.

Mentari berjalan ragu memasuki halaman rumah kecilnya, catnya yang sudah pudar dan kayu jendela dan pintu yang sudah lapuk. Orang-orang yang Mentari tak kenali terlihat sibuk membersihkan rumah, tapi Mentari mengenali salah satu wanita yang ada di sana. Mayang, ibunya.

Mata mereka bertemu, dan Mayang yang melihat kehadiran Mentari tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. "Mentari! Ya ampun, cepetan sini!" seru Mayang, mempercepat langkahnya menghampiri Mentari.

"Ayo masuk. Abis itu mandi." Mayang menarik Mentari masuk ke dalam rumah, mengantarnya ke kamar yang ia tempati saat masih SMP. "Itu kebaya dijahitin langsung loh sama ibunya Fajar, pasti cocok sama kamu. Dandan yang cantik!" peringat Mayang dan langsung keluar dari kamar Mentari.

Mentari masih melongo bingung, jarinya menyentuh baju kebaya warna cokelat keemasan yang berkerlap-kelip saat terkena cahaya. "Ini apa? Aku mau dinikahin?" tanya Mentari pada dirinya sendiri. "Masa iya secepat ini? Punggungku aja masih pegel-pegel naik kereta."

Mentari berdiri dan membuka pintu kamarnya lagi, mengintip kegiatan yang ada di ruang tamu, ada banyak makanan dimeja, mulai dari camilan dan makanan berat.

"Mentari! Kamu ngapain? Cepetan mandi!" Mayang memukul kepala Mentari dengan ganggang sapu, membuat Mentari meringis pelan mengusap kepalanya.

"Ini kenapa semua orang bersih-bersih rumah, bu? Ada hajatan?" tanya Mentari penasaran. Tidak mungkin dirinya benar-benar dinikahkan kan? Astaga, dia belum mengundang nyonya Sintya dan tuan Atmaja!

"Keluarga Fajar mau lamar kamu hari ini, jadi cepetan mandi! Mereka sebentar lagi sampe!"

"Hah?! Mentari kan baru aja sampe, Bu. Gak besok aja? Mentari masih capek." Mentari menampilkan wajah memelasnya. Ini memang tidak semengerikan bayangannya yang akan dinikahkan paksa, tapi lamaran dadakan juga bukanlah yang lebih baik.

"Kalau nunggu besok, yang ada mereka batalin duluan karena sadar kamu gak ada bagus bagusnya jadi perempuan! Kamu mau bapak kamu yang pengangguran itu masuk penjara karena gak mampu bayar hutang?!"

Mentari hanya diam menatap Mayang yang melotot, orang-orang melirik mereka penasaran. "Mau bapak kamu dipenjara?!" tanya Mayang lagi tanpa menurunkan intonasinya.

"Gak." jawab Mentari akhirnya.

Sekasar-kasarnya ucapan ibu dan bapaknya selama ini, Mentari tidak akan balik membentak karena sadar kehidupannya kini adalah berkat mereka, orang tuanya. Mentari tetap bersyukur karena orang tuanya hanya buruk dalam berbicara, bukan orang tua yang akan memukul anaknya jika membuat kesalahan kecil. Setidaknya orang tuanya tidak sejahat itu.

"Kalau gitu Mentari mandi dulu." ucap Mentari pelan dan masuk kembali ke kamar.

Mentari mengambil handuk dan perlengkapan mandinya ditas, dan keluar menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi kecil yang hanya dilengkapi dengan wc dan bak mandi besar yang terbuat dari batu bata dan semen. Sekelilingnya hanya dibatasi dengan pagar anyaman bambu setinggi kepalanya, tanpa atap.

 Sekelilingnya hanya dibatasi dengan pagar anyaman bambu setinggi kepalanya, tanpa atap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang